Sore itu di camp perkemahan bertempat di sebuah lapangan rumput. Panitia membacakan sebuah renungan. Para peserta berbaris rapi, dengan kepala tertunduk, menyimak penuh khidmat kata demi kata. Suasana begitu mengharukan, semua terbawa aura renungan tersebut, ada yang mulai sesenggukan kecil.
Tiba-tiba ... "Mbekkk... Mbekkk ...", seekor cempe (anak kambing) berlari, dikejar seorang anak penggembala yang berusaha mengamankan cempe tersebut supaya tak masuk ke barisan. Tapi suasana sudah terlanjur buyar. Pengkondisian yang dibangun bertahap menit demi menit itu rontok sebelum mencapai klimaks gara-gara interupsi seekor cempe. Yang sudah hampir nangis batal jadi meringis. Mata yang sudah mulai berkaca, berganti menahan tawa. "Sial ... sial ...", mungkin begitu rutuk panitia dalam hati.
Suatu hari di ruang kuliah, para peserta ujian sedang berpikir keras di antara tatapan pengawas yang selalu melekat bagai lem kastol. Suasana sepi sekali seolah menanti kuntilanak sedang cebok. "Meong ... meong ...", suara seekor kucing di luar pintu memecah kesunyian.
Komentar yang baru pusing ngerjain ujian sehingga memilih ngerjain temannya, "Wah, Si Yok kamu dicari-cari tuh ...", sedang si Yok hanya bisa bersungut-sungut di tengah suasana ruangan yang mulai gaduh. Kala suara meongan tak kunjung henti malah makin menjadi, komentar lebih sadis lagi, "Pasti si Yok belum ngasih nafkah bathin nih ...." Emang tahu kucingnya jantan atau betina? Terpaksa pengawas terburu keluar untuk menjauhkan kucing tersebut agar suasana tetap terkendali. Dasar kucing, tak membaca kalau di luar sudah ada tempelan "Harap tenang, sedang ujian".
Kucing memang belum pernah jadi peserta upacara. Karena itu harap maklum, ketika upacara bendera sedang berjalan, sang kucing malah dengan santainya berjalan-jalan. Entah apakah itu kucing seleb sehingga tidak merasa demam panggung nyrunthul begitu saja? Pembina upacara jadi serba salah, apakah akan pura-pura tak lihat atau bagaimana. Untunglah sang kucing hanya sekedar numpang lewat saja, tak melanjutkan dengan kebiasaannya berjemur matahari pagi, di tengah tatapan ratusan peserta upacara yang berusaha tetap memasang tampang serius, meski dada sudah tak tahan menahan ketawa.
Bukan cuma kucing yang bisa melakukan interupsi. Seekor lalat juga bisa membikin senewen kepala negara. Presiden sedang berpidato yang disiarkan langsung di tipi, dengan penuh semangat ketika sang lalat hinggap. Para pemirsa tipi yang menonton siaran mungkin bisa bertanya-tanya, "Wah sekarang presiden punya tahi lalat portabel?"
Bukan cuma kucing yang bisa melakukan interupsi. Seekor lalat juga bisa membikin senewen kepala negara. Presiden sedang berpidato yang disiarkan langsung di tipi, dengan penuh semangat ketika sang lalat hinggap. Para pemirsa tipi yang menonton siaran mungkin bisa bertanya-tanya, "Wah sekarang presiden punya tahi lalat portabel?"
Kurang ajar memang si "lalat subversif" yang patut diduga mencoba merongrong kewibawaan presiden. Untung tak ada media yang usil tanya apakah presiden belum mandi sehingga dikerubuti lalat. Mereka yang tadinya mencermati isi pidato malah sekarang lebih asyik bertaruh kemana lalat tersebut akan nemplok lagi. Mungkin lain kali pasukan pengamanan presiden perlu lebih cermat lagi "mensterilkan" ruangan.
Tapi ada juga presiden yang langsung memberikan respon dengan "serangan preemptif" begitu diusik lalat. Tanpa perlu jaim lagi, dalam tiga jurus pukulan maut, berakhirlah nasib si lalat. Ternyata bukan cuma satu, kalau tidak salah dalam wawancara itu, dua ekor lalat telah menjadi korban. Mungkin jasad lalat-lalat itu menjadi pesan untuk jangan mengusik negara kami bila tak mau berakhir begini.
Kalau kucing dan lalat bisa menjadi faktor eksternal, maka ada juga faktor "internal" yang bisa membuyarkan suasana. Waktu kecil saya pernah ikut dengan keluarga dan kerabat untuk ziarah ke makam para kakek buyut. Sampai di salah satu makam, setelah membersihkan makam dan sekitarnya, kami mulai mendoakan untuk buyut tersebut.
Di saat semuanya sedang khusyuk, entah karena kelamaan jongkok, tanpa dapat ditahan saya buang angin. Wah malunya, meski yang lain pura-pura tidak dengar. Yang jelas suasana sudah tidak sekhusyuk yang tadi, mungkin ada yang mulai mencari-cari apakah baunya ada. Duh, maafkan saya ya kakek buyut, tak ada maksud tidak sopan kok, mungkin sarapanku saja yang kebanyakan ...Kalau kucing dan lalat bisa menjadi faktor eksternal, maka ada juga faktor "internal" yang bisa membuyarkan suasana. Waktu kecil saya pernah ikut dengan keluarga dan kerabat untuk ziarah ke makam para kakek buyut. Sampai di salah satu makam, setelah membersihkan makam dan sekitarnya, kami mulai mendoakan untuk buyut tersebut.
Tapi merusak suasana tidak selalu buruk kok. Jadi ingat ada Pak Guru yang bikin murid-murid pada tegang di kelas, apalagi kalau pada tidak bisa menjawab pertanyaan. Eh dari luar kelas ada lewat orang jualan kenceng lagi nawarinnya. Ya pada gerr semua ... Pak Guru pun ikut tertawa, ya masak orang jualan mau dimarahin ...
Baiklah teman-teman, semoga cerita ini tidak merusak suasana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ayo bergabung disini.... boleh berkomentar... asal sopan dan intelek, humoris, serta dapat menambah wawasan dan persaudaraan