Kamis, 04 November 2010

MENENGOK PERS INDONESIA PADA MASA REVOLUSI FISIK

Kehidupan pers Indonesia Era Revolusi Fisik (1945 – 1950) tumbuh bersama semangat kemerdekaan atau patriotisme. Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya dan mencoba bangkit untuk menata kehidupan kebangsaan di atas kedaulatan sendiri belum bisa mengembangkan sistem pers yang memuaskan seluruh lapisan masyarakat. Selain itu kedaulatan dan persatuan bangsa masih harus terus diuji karena masih adanya ancaman dari luar negeri seperti dari Belanda yang mengandalkan tentara NICA. Begitu pula dari dalam negeri belum sepenuhnya stabil karena adanya ancaman keamanan dimana-manan.
Pada era Revolusi Fisik, Indonesia mengalami dualisme sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan yang demokratis berdasarkan UUD 1945, dan pemerintahan otoriter Kolonial Belanda NICA yang kembali ke Indonesia membonceng tentara Sekutu. Sebelum  masuknya tentara Sekutu dan NICA, pada awal kemerdekaan, pers Indonesia mengalami euphoria kebebasan setelah terlepas dari tekanan penjajahan Belanda dan Jepang. Misi utama pers saat itu adalah menyebarluaskan proklamasi kemerdekaan dan mempersiap­kan masyarakat dalam melawan Jepang yang masih berada di Indonesia. Dibandingkan dengan kebebasan saat dalam tekanan penjajah, kebebasan pers saat itu mengalami perubahan yang signifikan dari pers otoriter ke pers liberal. Pers dengan bebas menyeru­kan agar rakyat mengadakan pergerakan dalam merebut senjata di kamp Jepang dan memberitakan secara luas hasil pergerakan rakyat tersebut. Kondisi inilah yang menurut Muchtar Lubis merupakan awal dari perjuangan pers secara terbuka. 
Pers pada awal kemerdekaan sebagai mitra bagi pemerintah dalam mencari kebenaran, mempertahankan kemerdekaan dan menggerakkan rakyat untuk melawan penjajah. Secara struktural, pers Indonesia tumbuh dengan baik, setiap warga negara dapat menerbitkan surat kabar tanpa adanya batasan, perizinan dan semacamnya dari penguasa. Sebagaimana dikutip oleh Smith dalam Sullivian (1967), “pada tahun 1948 Indonesia menerbitkan 45 surat kabar dengan oplah 227 ribu sehari. Ditempat yang tidak ada surat kabar, orang Indonesia menerbitkan suratkabar stensilan”[1]. Selanjutnya, mengenagi pertumbuhan surat kabar secara fisik, dalam Garis Besar Perkembangan Pers Indonesia yang diterbitkan SPS secara luas dikemukakan bahwa di beberapa daerah pada era revolusi fisik ini terbit beberapa surat kabar Indonesia. Di Jawa misalnya, terbit beberapa surat kabar, seperti Berita Indonesia yang merupakan pelopor surat kabar dizaman kemerdekaan, Mimbar Oemoem, Sinar Deli, Berjuang, Islam Berjuang, dan Soeloeh Merdeka di Medan. Di Sumatera Tengah (Sumatera Barat, Riau dan Jambi), terbit Berjuang, Oetoesan Soematera, Pedoman Kita, Detik, Kedaulatan Rakyat dan Tjahaya Padang. Di Palembang terbit surat kabar Warta Berita, dan Soeara Rakyat. Sedangkan di Jakarta, terbit surat kabar Merdeka, Rakyat,  dan Soeara Oemoem. Di Bandung antara lain, Pewarta Oemoem, di Jogyakarta terbit beberapa surat kabar seperti Kedaulatan Rakyat, Soeara Merdeka, Suara Rakyat dan  di Semarang Sinar Baru. Untuk konsumsi tentara Inggeris/India dan kalangan yang berbahasa Inggeris dan Belanda, diterbitkan mingguan “Free Indonesia” di bawah pimpinan Abdul Madjid, dan penerbitan berkala “de Vrijjheid” dan disebarkan cuma-cuma di Medan.
Periode ini ditandai pula dengan lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tanggal 9 Pebruari 1946. Pada awal kelahirannya PWI menempatkan diri sebagai organisasi kejuangan bersama organisasi lainnya. “Pada masa tersebut, NKRI yang berusia muda mengintervensi – bahkan mensubordinatkan – organisasi wartawan PWI, tetapi untuk satu tujuan yang mulia, kemerdekaan itu sendiri.[2] Kondisi PWI yang demikian, tidak dapat dilepaskan dari kenyataan historis bahwa NKRI yang masih berusia muda sangat memerlukan dukungan dari seluruh segmen masyarakat, dan hal ini tidak berarti mengekang kebebasan wartawan.
Setelah Belanda kembali dengan pemerintahan NICA yang membonceng tentara Sekutu, kehidupan pers Indonesia kembali mengalami tekanan. Pemerintahan otoriter yang diterapkan Sekutu dan NICA sangat mengancam kehidupan pers saat itu, karena kebenaran dianggap bukan hasil dari masa rakyat, tetapi dari sekelompok kecil orang yang sedang berkuasa, yaitu Sekutu dan NICA. Dalam kondisi yang penuh tekanan oleh Sekutu dan NICA, pers Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai pers perjuangan yang terfokus dalam mengobarkan semangat perjuangan melawan penjajah.
Tekanan-tekanan terhadap pers Indonesia terjadi di berbagai wilayah pendudukan. Di Jakarta pada tanggal 19 April 1946 Polisi NICA melakukan penggerebekan terhadap kantor berita APB (Arabian Press Board yang kemudian berubah menjadi Asian Press Board. Pemimpin APB, Dza Shahab ditangkap dan APB dilarang menyiarkan berita apapun terutama mengenai gerakan-gerakan TNI. Disamping itu wartawan ‘republiken’ yang bekerja di daerah pendudukan, di intimidasi dan digeledah dengan dalih kolaborasi. Di Surabaya, wartawan yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda, menyingkir ke pedalaman dan disana mereka meneruskan perjuangan membela republik.
Di Medan, tekanan terhadap pers dilakukan Sekutu dengan membreidel “Pewarta Deli”, memenjarakan A.O Lubis (Wartawan) dan Rahmat pimpinan percetakan “Syarikat Tapanoeli”. Redaksi “Mimbar Oemum” A.Wahab, ditahan dan alat-alat radionya dibeslag oleh Inggeris. Demikian pula halnya Pada dengan percetakan “Soeloeh Merdeka” yang disita Inggeris pada 4 Juli 1946. Di Sumatera Tengah, percetakan “Oetoesan Soematra” dihancurkan Sekutu, dan kegiatan penerbitan terhenti pada akhir tahun 1946. Saat agresi ke – I, “Tjahaya Padang” berhenti terbit karena pimpinan dan karyawannya ditawan Belanda bersamaan dengan ditembak mati Walikota Padang Bagindo Azis Chan sebagai pendiri Tjahaya Padang. Sedangkan di Palembang, kantor surat kabar “Obor Rakjat” menjadi sasaran penembakan Belanda.
Kondisi pers pada era ini, tidak dapat dikatakan sebagai berada dalam authoritarian of the press, karena walaupun berada dalam keadaan berbagai bentuk tekanan oleh pemerintah Belanda, pers telah menem­patkan diri sebagai pers perjuangan. “Kala itu pers Indonesia dengan sama sekali tidak berpretensi sebagai pahlawan, menunaikan tugas dan kewaji­annya dengan segala keikhlasan dan penuh semangat pengab­dian mempertahan­an dan mengisi kemerdekaan yang sudah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu[3].  Perjuangan mempertahankan kemerdekaan inilah yang menurut pers pada saat itu merupakan kebenaran yang harus dipertahankan. Kalau merujuk kepada Siebert[4] dan kawan-kawan kebebasan pers saat itu dapat dikategorikan sebagai The Libertarian Theory. Karena menurut teori ini, bahwa manusia tidak perlu tergantung kepada kekuasaan (kekuasaan Belanda) dan tidak perlu dituntun dan diarahkan dalam mencari kebenaran, karena kebenaran itu merupakan hak azasi. 


[1]   Smith, Edwar C.,1986, Sejarah Pembredeilan Pers Di Indonesia, (terjemahan),Jakarta, Pustaka Grafitti: 73
[2]  Simanjuntak, Togi (Editor), WartwanTerpasung – IntervensiNegara di Tubuh PWI, Institute Studi Arus Informasi, Jakarta: 15 
[3] Serikat Penerbit Suratkabar Pusat , Garis Besar Perkembangan Pers Indonesia, Jakarta, 1971: 122.
[4]   Siebert, Fred S,.et.al., 1973, FourTheories Of The Press,London, University Of Illinois, London:  3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo bergabung disini.... boleh berkomentar... asal sopan dan intelek, humoris, serta dapat menambah wawasan dan persaudaraan