Selasa, 16 Agustus 2011

TULISANKU DZIKIRKU

TULISANKU DZIKIRKU
Aku menulis bagai berdzikir
Membuka tabir ilahi sebuah terapi
Resah gelisah, gundah gulana tak nampak nyata
Pisau menikam ulu hati
Darah dan pedih bercampur biru
Rasa simpati hilang terbang
Mata memandang langit tak dekat
Mulut berucap tak dekat
Telinga mendengar tak dekat
Mari…
Mari wahai kekasih mendekat
Tuk campurkan bubuk putih di atas hati yang pekat

Sandiwara apa lagi ini?

Sandiwara apa lagi ini?
(HERMAN LILO)

Sandiwara apa lagi ini
Kebohongan apa lagi yang akan kau lakonkan
Belum cukupkah tipuan kampanye itu memperdayai
Kini janji apa lagi yang akan di obral ke semua media

Sandiwara apa lagi ini
Penindasan macam mana lagi yang kita rasa
Belum cukupkah kekuasaan itu menginjak
Setelah terjepit, baru ramai teriak reformasi
Setelah semua dikeruk, baru teriak anti korupsi

Sandiwara apa lagi ini
Pesta korupsi yang bagaimana lagi belum membuat perutmu kenyang
Belum puaskah melihat orang-orang yang kelaparan
Sesaat kau hanya bermanis muka dengan membagi sembako

Sandiwara apa lagi ini
Partai berdiri dimana-mana untuk menjadi pahlawan
Lantas mereka saling mencacimaki
Padahal rakyat semakin miskin karena harga yang tak terbeli.
***
29 oktober 1998

Negeri Merdeka

Negeri Merdeka

inilah negeri impian itu
negeri yang selalu kita rindukan
ada laut dan ribuan pulau tempat berlabuh
disana kita berkasih-kasih dalam cinta anak bangsa
damai, cinta, biru,
maka kembalilah kau disini
di negeri tanpa pembredelan, tanpa pencekalan, tanpa penjara
disini kita bebas bicara dan berfikir merdeka

inilah negeri kecil itu
negeri indah yang pernah hilang di petamu
disini kita menjaga nafas kehidupan dalam pesta
tak ada saling curiga atau dendam tersisa
maka pulanglah
alamatkan cintamu di negeri ini
disini aku menunggumu menikmati anugerah agung itu

inilah negeri biru itu
negeri bertabur permata dan lautan mutiara
negeri tanpa tirani, tanpa monopoli dan intimidasi
disini hukum berdiri tegak di keadilan
tak ada penjajahan, penindasan dan kesewenangan
kecuali simfoni damai dan gita harmoni para pujangga negeri
hanya damai, hanya cinta, hanya biru
maka kembalilah di negeri ini wahai generasi persaudaraan

hanya kamu, Indonesia
yang bersemayam di negeri cintaku
menghuni seluruh wilayah nurani

biarkan kami bebas mencintaimu

Tamalanrea, 19-10-1995

۞۞۞

Sajak Merdeka

Sajak Merdeka

Degup Jantungmu berdetak
Terdengar mantramu seperti sajak
Mirip tangis kelahiran bayi tamak

Sebelum kuburan ditekan tanah tua
Kau masih sempat bertanya
Kapan kita merdeka?


۞۞۞

PAKENGKAI ALEMU

PAKENGKAI ALEMU

pakkedde'i alemu ri segge'na woroane eppa'e
Muhammad, Ali, Hasan, Husain

palenne'i alemu ri mase'na makkunrai eppa'e
Khadijah, Fatimah, Maryam, Asia

pakengkai alemu ri teppe'na punna langkanae
pumana'engngi ceyyana lino ahera'

Terjemahan:

HADIRKANLAH DIRIMU

tegakkanlah dirimu pada keberanian empat lelaki
Muhammad, Ali, Hasan, Husain

letakkalah dirimu pada kasih empat perempuan
Khadijah, Fatimah, Maryam Asia

hadirkanlah dirimu pada keimanan Ahlul Bayt
ahli waris cahaya dunia akhirat

Marisa, 6 Agustus 2011
Catatan Hati (90) - ATDM
 Tulisan ini saya nukil dari FB kakanda Ambo Tang Daeng Matteru.
Tulisan yang penuh makna, dan sangat lugas dalam sentuhan sastra Bugis yang kental.
Semoga bermanfaat... 

Kamis, 04 Agustus 2011

Puasa dan Kemerdekaan

Dalam catatan sejarah, bangsa Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada saat mayoritas elemen bangsa sedang menunaikan ibadah puasa. Pada saat ini pun, di usianya yang ke-65 tahun, pesta kemerdekaan jatuh pada bulan puasa, saat masyarakat muslim disibukkan dengan intensitas ibadah.

Secara fisik dan dalam kacamata awam, orang yang sedang berpuasa sering digambarkan dengan kondisi tubuh yang lemah, tidak bertenaga, tidak bersemangat, dan bermalas-malasan. Sebab, selama lebih kurang 12 jam tidak tersuapi makanan dan minuman, terlebih lagi dalam tekanan psikis karena terjajah.

Sebuah ironi dengan kemerdekaan. Tidak mungkin kemerdekaan dapat dideklarasikan dengan kondisi fisik yang lemah dan kemerdekaan tidak mungkin bisa direbut kalau tidak didasari oleh semangat yang tinggi.
Kemerdekaan adalah suatu kondisi tidak terjajah oleh koloni ketidakadilan dan dehumanistik. Lalu, apa relevansi makna Ramadhan dengan kemerdekaan atau bagaimana puasa bisa mendorong kehendak merdeka?

Paling tidak, pertanyaan tersebut bisa ditemukan jawabannya dengan merevitalisasi substansi puasa dalam kehidupan sosial. Tidak cukup dipahami bahwa puasa adalah ibadah formal yang hanya cukup digugurkan kewajibannya selama sebulan penuh, sedangkan bulan-bulan berikutnya tidak terpantul secara implementatif oleh efek ibadah puasa. Setiap detik dan setiap saat perilaku-perilaku sosial seharusnya terpancar oleh sinar-sinar substansi yang diajarkan oleh ibadah puasa.

Liberasi

Kelahiran agama pada dasarnya membawa semangat liberatif bagi umat manusia, pembebas dari kezaliman sosial, kemungkaran dan ketidakadilan sosial untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera (rahmatan lil’alamin). Semangat tersebut termanifestasi melalui simbol-simbol ritus keagamaan, termasuk juga pada puasa.

Puasa adalah menahan dan mengendalikan diri dari segala perbuatan dehumanisasi yang bisa menurunkan kualitas dan bahkan membatalkan puasa. Walaupun pengendalian diri menuntut upaya personal atau bersifat pribadi, akan bermakna jika bisa memberikan implikasi pada kepentingan sosial. Yang perlu ditekankan adalah bagaimana proses aksi pengendalian diri yang bermula dari diri sendiri itu dimuarakan pada kemaslahatan bersama, kepentingan bangsa dan masyarakat luas.

Dalam buku Fiqh al-Shiyam, Yusuf Qaradhowi mengemukakan berbagai hikmah ibadah puasa. Salah satunya, tarbiyah li al-iradah, puasa mengajarkan untuk berkehendak. Pilihan untuk tidak makan dan minum serta berhubungan suami-istri pada siang hari merupakan wujud dari melaksanakan kehendak walaupun hal tersebut sangat sulit. Dalam konteks yang lebih luas, bagaimana pendidikan berkehendak tersebut bisa termanifestasi dalam kehidupan sosial.

Potret kesejarahan kemerdekaan Indonesia telah mengajarkan kita. Meskipun dengan kondisi psikis yang tertekan dan fisik yang lemah, bangsa Indonesia masih memiliki kehendak. Kehendak untuk bebas dari bentuk penindasan dan penjajahan.

Berkehendak adalah kekayaan jiwa yang kita miliki dalam mengarungi hidup. Namun, tidak banyak yang menyadarinya. Kita sebenarnya bisa. Menahan dan mengendalikan diri dari perbuatan korupsi, misalnya, tindakan pengambilan keputusan yang luar biasa, apalagi jika kehendak itu ditransformasi kepada yang lain. Diam dan tidak berbuat bukan ajaran dari puasa.

Solidaritas masyarakat
Hikmah puasa yang lain adalah terpupuknya rasa empati kepada sesama. Adanya perasaan yang sama mengharuskan untuk berbuat minimal sama dengan rasa empati yang terbangun dalam jiwa orang yang berpuasa. Tidak cukup merasakan rasa tidak makan dan minum selama lebih kurang 12 jam (keterbatasan dan kekurangan) dengan hanya memberikan makan dan minum untuk memenuhi kekosongan perut.
Namun, bagaimana hal tersebut bisa terjawab secara implementatif dengan aksi-aksi sosial yang bersifat memberdayakan, bukan karikatif. Inilah yang disebut nilai solidaritas berbasis komunitas, solidaritas yang didasarkan pada bangunan perasaan yang sama, derita keterbatasan, rasa ketidakadilan, dan frustrasi sosial.

Puasa harus melahirkan jiwa solidaritas tinggi.

Namun, perasaan sama mulai kehilangan titik kesejarahannya seiring dengan mulai terkikisnya nilai keadilan dan kesejahteraan bangsa kita. Bangsa sudah mulai berani dengan sadar dan sengaja melukai bangsanya sendiri dan membunuh hak generasinya. Melalui perilaku culas yang dipraktikkan bangsa kita sendiri.
Korupsi merupakan pencurian besar terhadap hak generasi. Rakyat kecil juga berani melakukan hal yang sama walaupun dengan skala kecil dan modus yang berbeda. Memberikan formalin, zat pemutih, dan zat kimia lain pada setiap dagangannya yang dikonsumsi bangsanya sendiri. Wujud perilaku dehumanisasi tersebut karena hilangnya rasa perasaan sama.

Pada 65 tahun yang lalu, para pendiri bangsa kita telah mengajarkan dan telah dibuktikan bahwa merebut kemerdekaan harus dengan jiwa dan semangat liberatif. Semangat tersebut lahir karena ada perasaan sama, perasaan ingin merdeka dan terbebas dari segala bentuk penjajahan. Kita berharap bisa mengambil pelajaran dari puasa dan bisa meneladani nilai kemerdekaan lain untuk tidak menzalimi yang lain.

(Hasan Ashari)