KESEDIHAN DI LAMPU MERAH
Makassar - Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan fly-over yang mempertemukan Jalan tol Reformasi, Jalan A.P. Pettarani, dan Oerip sumohardjo, itu masih menyala hijau. Gasa segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lengang.
Lampu berganti kuning. Hati Gasa berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Gasa bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.
Prit! Prit! Prit!
Prit! Prit! Prit!
Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya
berhenti.
berhenti.
Gasa menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing. Hey, itu khan Reza, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Gasa agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
“Hai, Reza. Senang sekali ketemu kamu lagi!”
“Hai, Gasa.” Tanpa senyum.
“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri
saya sedang menunggu di rumah.”
saya sedang menunggu di rumah.”
“Oh ya?” Tampaknya Reza agak ragu.
Nah, bagus kalau begitu. “Reza, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan
anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh
terlambat, dong.”
anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh
terlambat, dong.”
“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”
O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan.
Gasa harus ganti strategi.
“Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.” Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.
“Ayo dong Gasa. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIMmu.”
Dengan ketus Gasa menyerahkan SIM lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Reza menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Reza mengetuk kaca jendela. Gasa memandangi wajah Reza dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Reza kembali ke posnya.
Gasa mengambil surat tilang yang diselipkan Reza di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Gasa membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Reza.
“Halo Gasa, Tahukah kamu Gasa, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, Ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Gasa. Doakan agar permohonan kami terkabulkan.
Berhati-hatilah.
Reza”
Gasa terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Reza. Namun, Reza sudah meninggalkan pos jaganya entah kemana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.
– Penulis tanpa nama. (DIPETIK dari resensi.net)
salam sahabat: Herman Lilo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ayo bergabung disini.... boleh berkomentar... asal sopan dan intelek, humoris, serta dapat menambah wawasan dan persaudaraan