Selasa, 17 Mei 2011

"Tidak Ada Makan Siang yang Gratis..!"

"Tidak Ada Makan Siang yang Gratis..!" Istilah ini menunjukkan matinya nilai-nilai keikhlasan sosial yang melekat pada keperibadian bangsa kita. Terjemahannya seperti dalam defenisi dan teori (Social Exchange Theory), orang mengevaluasi hubungannya dengan orang lain dengan cara pertukaran sosial. Bahwa hubungan sosial dipandang sebagai suatu transaksi dagang, maksudnya adalah orang atau kelompok berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu atau Mekanisme reward and punishment yang negatif. Istilah ini menginspirasi untuk melakukan Kolusi dan Suap Menyuap yang berakibat bencana Korupsi...

Telah banyak malapetaka besar melalui pencurian yang dilakukan oleh individu atau kelompok akibat transaksi haram. Dan itu bisa saja terjadi pada saat makan siang bersama antara pejabat, aparat, atau siapa pun yang berwajah negara dengan mereka dari kalangan pengusaha, kontraktor, atau dengan siapa pun. Karena tidak ada makan siang yang gratis, maka uang negara yang nota bene adalah milik rakyat- menjadi alat pembayar.

Dalam pandangan Ilmu Komunikasi, bahwa sebuah ejekan, yang tersetting oleh media secara massiv dan kemudian akan diterima oleh publik dengan tanpa menyadarinya. Aktivitas komunikasi yang "membiasakan" terminologi "tidak ada makan siang gratis" melalui media massa, propaganda, atau komunikasi antar personal lain dapat memengaruhi fenomena psikologi sosial. Pada akhirnya kegiatan sogok-menyogok, suap dan korupsi pun ikut terbiasakan. Masyarakat kita lalu permisif terhadap "koruptor" dengan menganggap bahwa itu adalah kesempatan mereka, dan yang lain pun berlomba-lomba mencari kesempatan untuk berkuasa dan juga korupsi.

SEMIOTIKA SOSIAL
Massifikasi "tidak ada Makan Siang yang Gratis" oleh media dapat ditelusuri melalui ranah Ilmu Komunikasi dengan menggunakan dengan metode semiotika. Semiotika sendiri, berasal dari kata  Yunani semion yang berarti tanda. Semiotika yang beragam, mulai dari semiotika analitik, deskriptif, faunal, kultural, naratif, natural, normatif, struktural maupun sosial - metode semiotika berusaha untuk memahami dunia yang bertalian dengan tanda, atau yang terkait dengan pemahaman kabar (teks) media dengan menggunakan semiotika sosial.

Semiotika sosial,  dapat digunakan untuk menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang yang berwujud kata maupun lambang yang berwujud kata dalam kalimat (Alex Sobur, 2001).
Dalam menggunakan semiotika sosial untuk menganalisis teks media, ada tiga unsur yang menjadi pusat perhatian penafsiran teks secara kontekstual. Diantaranya, pertama, medan wacana (field of discourse) : menunjuk pada hal yang terjadi : apa yang dijadikan wacana oleh pelaku (media massa) mengenai yang terjadi dilapangan peristiwa. Kedua, pelibat wacana (tenor of discourse) menunjuk pada orang-orang yang dicantumkan dalam teks (berita) : sifat orang-orang itu, kedudukan dan peranan mereka. Dengan kata lain, siapa saja yang dikutip dan bagaimana sumber itu digambarkan sifatnya. Ketiga, sarana wacana (mode of discourse) menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa : bagaimana komunikator (media massa) menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang dikutip) ; apakah menggunakan bahasa yang diperhalus atau hiperbolik, eufimistik atau vulgar.

MEDAN WACANA
Media berusaha memaparkan istilah "tak ada makan siang gratis" sebagai bahasa jurnalistik semata. Ada kenderungan media bahwa tindakan korupsi itu hal yang lumrah. Tidak ada bantahan atau penolakan secara tegas mengenai buruknya istilah tersebut yang dapat merubah psikologi sosial masyarakat menjadi permisif. Media, seolah memberikan deskripsi yang positif terhadap istilah “Tak Ada Makan Siang yang Gratis”. Atau terkesan mengarahkan publik untuk menerima begitu saja sikap dan prilaku pejabat negara yang korup.

PENYAMPAI WACANA
Penyampai wacana atau siapa yang berbicara, itu tidak penting bagi media, semua diramu dan ditulis oleh para jurnalis dan tersebar kemana-mana. Terhadap istilah tersebut, telah membumi dan diterima oleh masyarakat begitu saja tanpa penolakan dan usaha untuk meralatnya. Kita semua menjadi mahfum dengan istilah ini dengan tak berdaya menelaah secara kritis.

PERANAN BAHASA
Bagaimana media menggunakan istilah yang seolah memberikan citra yang baik atas prilaku dan sikap "tidak ada makan siang yang gratis" sehingga tidak memberi kesempatan kepada luhurnya nilai-nilai sosial yang dianut oleh bangsa Indonesia.

................................................. Mega Mall Ciputat, 18 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo bergabung disini.... boleh berkomentar... asal sopan dan intelek, humoris, serta dapat menambah wawasan dan persaudaraan