Terbelah lagi. 
|  | 
| Hari Raya Islam Yang Terbelah Lagi | 
Lebaran 16 November atau 17 November? Selasa atau Rabu? Demikian pertanyaan yang bertengkar dalam diri saya. Ada kemungkinan lebaran idul Adha tahun 2010 ini tejadi perbedaan hari raya antara Muhammadiyah dan NU, dua ormas Islam terbesar di Indonesia. Jauh-jauh hari Muhammadiyah sudah menetapkan 10 Zulhijjah 1431H jatuh pada hari Selasa 16 November 2010, sedangkan ormas lainnya seperti NU dan Persis kemungkinan besar menetapkan 10 Zulhijjah 1431H jatuh pada hari Rabu 17 November 2010. Versi Pemerintah sendiri sama seperti tanggal merah di kalender, yaitu 17 November juga.
Memang  keterbelahan orang Islam di Indonesia akan merayakan Idul Fitri atau  Idul Adha pada hari yang berbeda sudah terjadi untuk kesekian kalinya.  Tahun lalu juga bergitu, berbeda hari, malah ada yang berbeda hingga 2  hari. Muhammadiyah dan NU menggunakan metode berbeda dalam menentukan  awal bulan. Muhammadiyah menggunakan metode hisab, yaitu menghitung  dengan rumus-rumus, makanya ormas ini jauh-jauh hari sudah dapat  menentukan tanggal-tanggal penting seperti 1 Ramadhan (awal puasa), 1  Syawal (lebaran), dan 10 Zulhijjah (Idul Adha/lebaran haji). Sedangkan  NU menggunakan metode rukyat (melihat langsung bulan). Bagi  Muhammadiyah, awal bulan baru sudah masuk meskipun ketinggian bulan baru  (hasil perhitungan) sekian 0 derajat, meskipun ketinggian bulan itu  baru “terlihat” di sebuah wilayah saja di Indonesia. Sedangkan ormas  NU baru bisa menentukan awal bulan baru dengan cara melihat awal bulan  menggunakan teropong di berbagai wilayah di tanah air.  Kita tidak akan  mempersoalkan metode kedua ormas ini, sebab keduanya sama-sama memiliki  keyakinan yang kuat dan susah dipertemukan (hingga saat ini).
Masih  beruntunglah umat Islam di Indonesia tidak  terjadi konflik karena  perbedaan ini. Berbeda hari dalam merayakan lebaran sudah biasa bagi  umat Islam Indonesia. Kata-kata “hiburan” yang selalu digunakan untuk  meredam kebingungan umat Islam itu adalah “perbedaan itu adalah rahmat”.  Tetapi menurut saya, seringnya perbedaan itu tidak lagi menjadi rahmat,  tetapi hanya membuat rasa malu saja.  Orang Amerika saja sudah  menginjakkan kaki di bulan, sementara umat Islam di Indonesia masih saja  berkutat dengan permasalahan melihat bulan. Ini menurut saya sangat  aneh, padahal sekarang ini ilmu dan teknologi sudah sedemikian canggih,  jangankan menentukan awal bulan baru, meneliti dan mengeksplorasi  benda-benda langit lain sudah bisa dilakukan oleh IPTEK. Namun ada juga  kekuatiran saya jika kelak perbedaan ini tidak lagi sebagai rahmat, tapi  jadi biang percekcokan.
Perbedaan Hari Raya. 
Penyebab  perbedaan di Indonesia karena banyak ormas Islam dan setiap ormas  menetapkan penanggalan dengan cara mereka sendiri. Lain halnya dengan  umat Islam di Malaysia, Brunei, dan Singapura. Di sana (mungkin) tidak  ada ormas Islam, dan umat Islam di sana meyerahkan kepada Pemerintah  untuk menetapkan tanggal 1 Syawal. Hal yang sama juga berlaku di Arab  Saudi, Turki, dan negara Islam lainnya. 
Di  Indonesia Pemerintah belum diberi kepercayaan oleh ormas-ormas  Islam itu untuk menetapkan tanggal Hari Raya. Maunya mungkin versi  mereka yang diikuti, kalau tidak sepakat ya sudah, silakan saja  yakini versi mana yang benar, lalu diakhiri dengan kutipan dari hadis  “perbedaan itu adalah rahmat”, beres,  demikian egoisme  ormas-ormas Islam itu. Orang Islam di Indonesia dibiarkan  berbingung-bingung dan tidak diberikan kepastian. Padahal, ormas-ormas  itu sudah dipertemukan oleh Pemerintah duduk satu meja untuk mencari  titik temu, eh tetap saja tidak ketemu. Mau apa lagi. 
Tentu saja kita merasa malu dengan saudara kita dari umat agama lain. Mungkin mereka menyindir begini: “tuh,  lihat umat Islam, menentukan  hari raya saja mereka tidak  bersatu”. Selain rasa malu, ada satu masalah lain yang tidak kalah  penting dan membuat umat Islam di lapangan menjadi serba salah, yaitu  persaudaraan. Bagaimana kita mau takbiran di mesjid dekat rumah jika di  mesjid sebelah orang-orang masih tarawih. Atau, kita sudah shalat Ied,  sementara tetangga kita masih puasa. Maunya kita sama-sama merayakan  Idul Fitri, tetapi karena ada masjid yang ikut ormas ini dan mesjid lain  ikut ormas itu, akhirnya terpecahlah umat Islam di Indonesia dalam  merayakan Hari Raya.
Untunglah  umat Islam di Indonesia sudah “dewasa” sehingga perbedaan itu disikapi  wajar-wajar saja. Meskipun demikian, tetap saja perbedaan itu menyisakan  bekas dan pertanyaan banyak orang. Apakah akan begitu terus di  tahun-tahun berikutnya? Kenapa ormas-ormas itu tidak mau menurunkan  sedikit egoismenya demi persatuan umat?
Jika perbedaan adalah rahmat, maka patut kita berbesar hati. Namun jika asal beda, atau pingin  beda hanya untuk sebuah eksistensi organisasi, maka umat yang jadi korban.                                       
Tapi  tahun ini saya akan berbeda dengan Muhamadiyah atau siapa saja. Kalau  benar Pemerintah menetapkan lebaran tanggal 17 November, saya akan ikut  versi Pemerintah saja. Saya lebih memilih Pemerintah ketimbang ormas.  Pemerintah adalah jalan tengah di antara perbedaan itu. Dalam agama kita  diajarkan untuk mengikuti ulil amri, dalam hal ini ulil amri  adalah Pemerintah. Selain itu, ada perasaan tidak enak dengan tetangga  yang masih sibuk urus kurban sementara saya sudah lebaran. Dengan kata  lain, prinsip ukhuwah islamiyah lebih saya utamakan daripada keormasan.   
Nah, Anda pilih Lebaran hari apa?
 
 

perbedaan pendapat antar ummat boleh saja terjadi namun seorang pemimpin dapat dikatakan pemimpin yg pantas diikuti adalah pemimpin yg dapat mempersatukan perbedaan itu tanpa menimbulkan gejolak diantara ummat itu sendiri.........masih pantaskah Presiden kita dijadikan panutan dalam memimpin ummat beragama di Indonesia ??????
BalasHapus