Senin, 15 November 2010

hari raya yang terbelah

Terbelah lagi. 
Hari Raya Islam Yang Terbelah Lagi
Lebaran 16 November atau 17 November? Selasa atau Rabu? Demikian pertanyaan yang bertengkar dalam diri saya. Ada kemungkinan lebaran idul Adha tahun 2010 ini tejadi perbedaan hari raya antara Muhammadiyah dan NU, dua ormas Islam terbesar di Indonesia. Jauh-jauh hari Muhammadiyah sudah menetapkan 10 Zulhijjah 1431H jatuh pada hari Selasa 16 November 2010, sedangkan ormas lainnya seperti NU dan Persis kemungkinan besar menetapkan 10 Zulhijjah 1431H jatuh pada hari Rabu 17 November 2010. Versi Pemerintah sendiri sama seperti tanggal merah di kalender, yaitu 17 November juga.

Memang keterbelahan orang Islam di Indonesia akan merayakan Idul Fitri atau Idul Adha pada hari yang berbeda sudah terjadi untuk kesekian kalinya. Tahun lalu juga bergitu, berbeda hari, malah ada yang berbeda hingga 2 hari. Muhammadiyah dan NU menggunakan metode berbeda dalam menentukan awal bulan. Muhammadiyah menggunakan metode hisab, yaitu menghitung dengan rumus-rumus, makanya ormas ini jauh-jauh hari sudah dapat menentukan tanggal-tanggal penting seperti 1 Ramadhan (awal puasa), 1 Syawal (lebaran), dan 10 Zulhijjah (Idul Adha/lebaran haji). Sedangkan NU menggunakan metode rukyat (melihat langsung bulan). Bagi Muhammadiyah, awal bulan baru sudah masuk meskipun ketinggian bulan baru (hasil perhitungan) sekian 0 derajat, meskipun ketinggian bulan itu baru “terlihat” di sebuah wilayah saja di Indonesia. Sedangkan ormas NU baru bisa menentukan awal bulan baru dengan cara melihat awal bulan menggunakan teropong di berbagai wilayah di tanah air.  Kita tidak akan mempersoalkan metode kedua ormas ini, sebab keduanya sama-sama memiliki keyakinan yang kuat dan susah dipertemukan (hingga saat ini).

Masih beruntunglah umat Islam di Indonesia tidak  terjadi konflik karena perbedaan ini. Berbeda hari dalam merayakan lebaran sudah biasa bagi umat Islam Indonesia. Kata-kata “hiburan” yang selalu digunakan untuk meredam kebingungan umat Islam itu adalah “perbedaan itu adalah rahmat”. Tetapi menurut saya, seringnya perbedaan itu tidak lagi menjadi rahmat, tetapi hanya membuat rasa malu saja.  Orang Amerika saja sudah menginjakkan kaki di bulan, sementara umat Islam di Indonesia masih saja berkutat dengan permasalahan melihat bulan. Ini menurut saya sangat aneh, padahal sekarang ini ilmu dan teknologi sudah sedemikian canggih, jangankan menentukan awal bulan baru, meneliti dan mengeksplorasi benda-benda langit lain sudah bisa dilakukan oleh IPTEK. Namun ada juga kekuatiran saya jika kelak perbedaan ini tidak lagi sebagai rahmat, tapi jadi biang percekcokan.

Perbedaan Hari Raya
Penyebab perbedaan di Indonesia karena banyak ormas Islam dan setiap ormas menetapkan penanggalan dengan cara mereka sendiri. Lain halnya dengan umat Islam di Malaysia, Brunei, dan Singapura. Di sana (mungkin) tidak ada ormas Islam, dan umat Islam di sana meyerahkan kepada Pemerintah untuk menetapkan tanggal 1 Syawal. Hal yang sama juga berlaku di Arab Saudi, Turki, dan negara Islam lainnya. 

Di Indonesia Pemerintah belum diberi kepercayaan oleh ormas-ormas Islam itu untuk menetapkan tanggal Hari Raya. Maunya mungkin versi mereka yang diikuti, kalau tidak sepakat ya sudah, silakan saja yakini versi mana yang benar, lalu diakhiri dengan kutipan dari hadis “perbedaan itu adalah rahmat”, beres,  demikian egoisme ormas-ormas Islam itu. Orang Islam di Indonesia dibiarkan berbingung-bingung dan tidak diberikan kepastian. Padahal, ormas-ormas itu sudah dipertemukan oleh Pemerintah duduk satu meja untuk mencari titik temu, eh tetap saja tidak ketemu. Mau apa lagi. 

Tentu saja kita merasa malu dengan saudara kita dari umat agama lain. Mungkin mereka menyindir begini: “tuh, lihat umat Islam, menentukan  hari raya saja mereka tidak bersatu”. Selain rasa malu, ada satu masalah lain yang tidak kalah penting dan membuat umat Islam di lapangan menjadi serba salah, yaitu persaudaraan. Bagaimana kita mau takbiran di mesjid dekat rumah jika di mesjid sebelah orang-orang masih tarawih. Atau, kita sudah shalat Ied, sementara tetangga kita masih puasa. Maunya kita sama-sama merayakan Idul Fitri, tetapi karena ada masjid yang ikut ormas ini dan mesjid lain ikut ormas itu, akhirnya terpecahlah umat Islam di Indonesia dalam merayakan Hari Raya.

Untunglah umat Islam di Indonesia sudah “dewasa” sehingga perbedaan itu disikapi wajar-wajar saja. Meskipun demikian, tetap saja perbedaan itu menyisakan bekas dan pertanyaan banyak orang. Apakah akan begitu terus di tahun-tahun berikutnya? Kenapa ormas-ormas itu tidak mau menurunkan sedikit egoismenya demi persatuan umat?

Jika perbedaan adalah rahmat, maka patut kita berbesar hati. Namun jika asal beda, atau pingin  beda hanya untuk sebuah eksistensi organisasi, maka umat yang jadi korban.

Tapi tahun ini saya akan berbeda dengan Muhamadiyah atau siapa saja. Kalau benar Pemerintah menetapkan lebaran tanggal 17 November, saya akan ikut versi Pemerintah saja. Saya lebih memilih Pemerintah ketimbang ormas. Pemerintah adalah jalan tengah di antara perbedaan itu. Dalam agama kita diajarkan untuk mengikuti ulil amri, dalam hal ini ulil amri adalah Pemerintah. Selain itu, ada perasaan tidak enak dengan tetangga yang masih sibuk urus kurban sementara saya sudah lebaran. Dengan kata lain, prinsip ukhuwah islamiyah lebih saya utamakan daripada keormasan.   

Nah, Anda pilih Lebaran hari apa?

1 komentar:

  1. perbedaan pendapat antar ummat boleh saja terjadi namun seorang pemimpin dapat dikatakan pemimpin yg pantas diikuti adalah pemimpin yg dapat mempersatukan perbedaan itu tanpa menimbulkan gejolak diantara ummat itu sendiri.........masih pantaskah Presiden kita dijadikan panutan dalam memimpin ummat beragama di Indonesia ??????

    BalasHapus

ayo bergabung disini.... boleh berkomentar... asal sopan dan intelek, humoris, serta dapat menambah wawasan dan persaudaraan