Jumat, 29 Oktober 2010

Pemuda dan Mimpi Indonesia

Sahabat...

Kongres Pemuda II

ada yang bertanya, siapakah pemuda itu? Tiba-tiba seorang mahasiswa menjawab, pemuda ialah mereka yang mencintai pemudi

Lantas, obrolan terus berlangsung, bahwa di kantor walikota Makassar ada calo CPNS yang meminta bayar bagi mereka yang ingin menjadi tenaga kontrak. Jika umur si calon sudah lewat maka harus merogoh kocek sekitar Rp 30 juta sampai Rp 40 juta.

pada hari Kamis, 28 Oktober 2010 | 07:16 WIB, TEMPO Interaktif, mengangkat tulisan yang mirip dengan kejadian yang saya alami itu.

Petikannya:
Artikel ini saya tulis berawal dari diskusi ringan dengan seorang teman yang bercerita tentang tetangganya di sebuah kota kecil di Jawa Barat yang memiliki visi sederhana, tetapi agak ganjil, mengenai anak laki-lakinya (seorang pemuda). Dia berencana menyekolahkan putranya hingga pendidikan tinggi di kota tempat tinggalnya—ketimbang kuliah di kota besar—sehingga bisa menghemat biaya. ”Penghematan” itu akan digunakan untuk biaya suap masuk pegawai negeri sipil jika saatnya tiba. 

Lalu saya menimpali, lebih parah lagi, tetangga saya di kampung telah “menunaikan” visi ganjil itu, setelah menyekolahkan anak perempuannya (seorang pemudi) hingga pendidikan sarjana di sebuah kota besar, lalu masuk pegawai negeri dengan uang pelicin (suap) yang sudah disiapkannya sejak lama. Jumlahnya lumayan fantastis. Setara dengan 60 bulan gaji pegawai negeri golongan III-A. Itu artinya, dia butuh waktu kerja 5 tahun untuk bisa kembali modal. 

Apakah kedua fenomena ini ada korelasinya dengan maraknya korupsi dan terungkapnya berbagai kasus mafia pajak dan mafia hukum belakangan ini? Tentu banyak perspektif untuk membaca kedua fenomena itu. Salah satunya, potret tentang semakin lunturnya visi dan mimpi para generasi muda tentang Indonesia, di satu sisi; dan kian pupusnya harapan sebagian warga untuk menikmati janji-janji kemerdekaan Indonesia seperti terekam dalam Pembukaan UUD 1945, di sisi lain. 

Tiga mimpi kolektif pemuda Indonesia dalam Sumpah Pemuda 1928--berbangsa satu, bangsa Indonesia; bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; serta berbahasa satu, bahasa Indonesia--tidak hanya mengandung pesan persatuan, tetapi sejatinya juga tersirat pesan tentang keadilan dan persamaan bagi semua, bahwa Indonesia untuk semua warga. Hal itu ditegaskan 17 tahun kemudian dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai janji-janji kemerdekaan, bahwa dua tujuan utama negara--mimpi kolektif bangsa Indonesia--adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Optimisme kolektif

Fenomena ini tentu memunculkan pertanyaan penting bagi para pemuda Indonesia: bagaimana peran dan fungsi pemuda Indonesia dalam mengawal perjalanan bangsa? Paling tidak, ada dua perspektif untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama, perspektif masa kini, berhubungan dengan posisi strategis pemuda dalam mengawal perjalanan bangsa. Kedua, perspektif masa depan, berkaitan dengan apa saja yang perlu dipersiapkan untuk masa depan dalam menggapai mimpi individu setiap pemuda tentang dirinya dan tentang Indonesia.

Wajah Indonesia memang sedang terkoyak persoalan korupsi, kemiskinan, pengangguran, serta sejumlah tumpukan problem bangsa yang belum kunjung membaik. Akses pendidikan, misalnya, masih menjadi barang mewah bagi sebagian warga. Tetapi tetap saja semua itu bukan menjadi alasan bagi para pemuda untuk berhenti dan terus pesimistis memandang masa depan Indonesia. Karena itu, selain kritis, para pemuda Indonesia harus tetap optimistis dalam melihat masa depan.

Bangsa ini sedang menanti bangkitnya anak-anak muda untuk mulai membangun sebuah mimpi Indonesia masa depan. Membangun optimisme kolektif bahwa suatu saat para anak muda akan mampu mewujudkan mimpi Indonesia, dan menjadi terhormat di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Bahkan lebih dari itu, bangsa ini perlu bermimpi untuk suatu saat memimpin dunia. 

Mengawal perjalanan bangsa dengan membangun optimisme kolektif itulah mestinya yang menjadi ruh perjuangan gerakan pemuda dan mahasiswa hari-hari ini, sekaligus mengantisipasi gejala pesimisme massal yang semakin mendera Indonesia. Pada ruang kosong inilah setiap pemuda dan mahasiswa--gerakan pemuda dan mahasiswa--dituntut harus tetap kritis dalam mengawal perjalanan bangsa, tetapi juga optimistis menatap masa depan Indonesia. Itulah yang dimaksud dengan gerakan mahasiswa dan gerakan kepemudaan yang inklusif dan integral: gerakan moral, gerakan intelektual, sekaligus gerakan membangun optimisme kolektif bangsa.

Menyiapkan masa depan

Mewujudkan mimpi Indonesia yang lebih inklusif--mimpi bagi semua warga negara--sejatinya perlu disiapkan sejak sekarang. Memang tak mudah melakukannya, mungkin hasil utuh baru dirasakan 30-40 tahun ke depan, atau paling tidak di usia seabad Republik Indonesia pada 2045 nanti semua akan terwujud. 

Paling tidak ada tiga karakter dan kapasitas yang perlu dikapitalisasi setiap generasi muda untuk memenangi “pertarungan” masa depan sekaligus dalam mewujudkan mimpi Indonesia. Pertama, diperlukan generasi muda yang memiliki kualitas integritas yang tinggi. Pasalnya, Indonesia di masa depan sangat membutuhkan anak muda yang berintegritas tinggi, serta memiliki mentalitas antikorupsi. Indikasi diperlukannya integritas tinggi dan mentalitas antikorupsi ini terlihat dari problem korupsi yang kian menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa. Inilah salah satu upaya untuk memperbaiki wajah Indonesia di masa depan. Karena itu, pemerintah dan institusi pendidikan perlu memfasilitasi terbangunnya mentalitas antikorupsi di kalangan pemuda, pelajar, dan mahasiswa. 

Kedua, kapasitas keahlian dan intelektual yang cukup mumpuni. Para mahasiswa, misalnya, perlu mendalami studinya secara serius agar menjadi spesialis keilmuan tertentu, yaitu memiliki spesialisasi dalam menguasai suatu bidang pengetahuan secara mendalam sesuai dengan bidang studinya masing-masing. Para pemuda perlu memiliki skill tertentu untuk bersaing di dunia kerja. Indonesia di masa depan jelas memerlukan generasi muda yang profesional dan menguasai ilmu pengetahuan secara “mendalam” untuk memenangi kompetisi sekaligus mewujudkan mimpi Indonesia. Karena itu, negara wajib menyediakan akses dan fasilitas pendidikan yang murah dan terjangkau. 

Ketiga, karakter kepemimpinan yang peduli dan profesional. Karakter ini tidak bisa didapatkan di dalam ruang-ruang kelas. Kepemimpinan didapatkan dari pengalaman aktivitas keorganisasian, baik di kampus maupun di lingkungan masyarakat. Di situlah para pemuda dan mahasiswa ditempa untuk menyelesaikan berbagai konflik dan persoalan, diasah kemampuan manajerialnya, dan dilatih untuk peduli dan memahami lingkungan serta masyarakatnya. Di sini pula, kepekaan sosial dan kekritisan sering kali tumbuh. Justru para pemuda dan mahasiswa yang memiliki karakter kepemimpinan inilah yang di masa depan diperlukan untuk menggerakkan masyarakat dalam meraih kesuksesan kolektif sekaligus menggapai kegemilangan Indonesia. 

Akhirnya, pada momentum 72 tahun Sumpah Pemuda ini, setiap pemuda Indonesia perlu membuat visi diri serta memproyeksikan mimpi individunya pada 10, 20, bahkan 30 tahun ke depan untuk Indonesia, akan memiliki peran dan posisi apa dan di mana di tengah-tengah masyarakat dalam menyongsong masa depan Indonesia. Pada posisi itulah potensi terbesar bagi setiap pemuda untuk mewujudkan mimpi tentang Indonesia sekaligus melunasi mimpi “Sumpah Pemuda” dan “janji-janji kemerdekaan Indonesia” yang mulia dan inklusif itu. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo bergabung disini.... boleh berkomentar... asal sopan dan intelek, humoris, serta dapat menambah wawasan dan persaudaraan