Sahabat...
|  | 
| Kongres Pemuda II | 
ada yang bertanya, siapakah pemuda itu? Tiba-tiba seorang mahasiswa menjawab, pemuda ialah mereka yang mencintai pemudi
Lantas, obrolan terus berlangsung, bahwa di kantor walikota Makassar ada calo CPNS yang meminta bayar bagi mereka yang ingin menjadi tenaga kontrak. Jika umur si calon sudah lewat maka harus merogoh kocek sekitar Rp 30 juta sampai Rp 40 juta.
pada hari Kamis, 28 Oktober 2010 | 07:16 WIB, TEMPO Interaktif, mengangkat tulisan yang mirip dengan kejadian yang saya alami itu.
Petikannya: 
 Artikel ini saya tulis berawal dari diskusi ringan dengan seorang teman  yang bercerita tentang tetangganya di sebuah kota kecil di Jawa Barat  yang memiliki visi sederhana, tetapi agak ganjil, mengenai anak  laki-lakinya (seorang pemuda). Dia berencana menyekolahkan putranya  hingga pendidikan tinggi di kota tempat tinggalnya—ketimbang kuliah di  kota besar—sehingga bisa menghemat biaya. ”Penghematan” itu akan  digunakan untuk biaya suap masuk pegawai negeri sipil jika saatnya tiba. 
Lalu saya menimpali, lebih parah lagi, tetangga saya di kampung  telah “menunaikan” visi ganjil itu, setelah menyekolahkan anak  perempuannya (seorang pemudi) hingga pendidikan sarjana di sebuah kota  besar, lalu masuk pegawai negeri dengan uang pelicin (suap) yang sudah  disiapkannya sejak lama. Jumlahnya lumayan fantastis. Setara dengan 60  bulan gaji pegawai negeri golongan III-A. Itu artinya, dia butuh waktu  kerja 5 tahun untuk bisa kembali modal. 
Apakah kedua fenomena ini  ada korelasinya dengan maraknya korupsi dan terungkapnya berbagai kasus  mafia pajak dan mafia hukum belakangan ini? Tentu banyak perspektif  untuk membaca kedua fenomena itu. Salah satunya, potret tentang semakin  lunturnya visi dan mimpi para generasi muda tentang Indonesia, di satu  sisi; dan kian pupusnya harapan sebagian warga untuk menikmati  janji-janji kemerdekaan Indonesia seperti terekam dalam Pembukaan UUD  1945, di sisi lain. 
Tiga mimpi kolektif pemuda Indonesia dalam  Sumpah Pemuda 1928--berbangsa satu, bangsa Indonesia; bertumpah darah  satu, tanah air Indonesia; serta berbahasa satu, bahasa Indonesia--tidak  hanya mengandung pesan persatuan, tetapi sejatinya juga tersirat pesan  tentang keadilan dan persamaan bagi semua, bahwa Indonesia untuk semua  warga. Hal itu ditegaskan 17 tahun kemudian dalam Pembukaan UUD 1945  sebagai janji-janji kemerdekaan, bahwa dua tujuan utama negara--mimpi  kolektif bangsa Indonesia--adalah memajukan kesejahteraan umum dan  mencerdaskan kehidupan bangsa. 
Optimisme kolektif
Optimisme kolektif
Fenomena ini tentu memunculkan pertanyaan penting bagi para pemuda Indonesia: bagaimana peran dan fungsi pemuda Indonesia dalam mengawal perjalanan bangsa? Paling tidak, ada dua perspektif untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama, perspektif masa kini, berhubungan dengan posisi strategis pemuda dalam mengawal perjalanan bangsa. Kedua, perspektif masa depan, berkaitan dengan apa saja yang perlu dipersiapkan untuk masa depan dalam menggapai mimpi individu setiap pemuda tentang dirinya dan tentang Indonesia.
Wajah Indonesia memang sedang terkoyak persoalan  korupsi, kemiskinan, pengangguran, serta sejumlah tumpukan problem  bangsa yang belum kunjung membaik. Akses pendidikan, misalnya, masih  menjadi barang mewah bagi sebagian warga. Tetapi tetap saja semua itu  bukan menjadi alasan bagi para pemuda untuk berhenti dan terus  pesimistis memandang masa depan Indonesia. Karena itu, selain kritis,  para pemuda Indonesia harus tetap optimistis dalam melihat masa depan.
Bangsa  ini sedang menanti bangkitnya anak-anak muda untuk mulai membangun  sebuah mimpi Indonesia masa depan. Membangun optimisme kolektif bahwa  suatu saat para anak muda akan mampu mewujudkan mimpi Indonesia, dan  menjadi terhormat di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Bahkan lebih  dari itu, bangsa ini perlu bermimpi untuk suatu saat memimpin dunia. 
Mengawal  perjalanan bangsa dengan membangun optimisme kolektif itulah mestinya  yang menjadi ruh perjuangan gerakan pemuda dan mahasiswa hari-hari ini,  sekaligus mengantisipasi gejala pesimisme massal yang semakin mendera  Indonesia. Pada ruang kosong inilah setiap pemuda dan mahasiswa--gerakan  pemuda dan mahasiswa--dituntut harus tetap kritis dalam mengawal  perjalanan bangsa, tetapi juga optimistis menatap masa depan Indonesia.  Itulah yang dimaksud dengan gerakan mahasiswa dan gerakan kepemudaan  yang inklusif dan integral: gerakan moral, gerakan intelektual,  sekaligus gerakan membangun optimisme kolektif bangsa. 
Menyiapkan masa depan
Menyiapkan masa depan
Mewujudkan mimpi Indonesia yang lebih inklusif--mimpi bagi semua warga negara--sejatinya perlu disiapkan sejak sekarang. Memang tak mudah melakukannya, mungkin hasil utuh baru dirasakan 30-40 tahun ke depan, atau paling tidak di usia seabad Republik Indonesia pada 2045 nanti semua akan terwujud.
Paling tidak ada tiga karakter dan kapasitas  yang perlu dikapitalisasi setiap generasi muda untuk memenangi  “pertarungan” masa depan sekaligus dalam mewujudkan mimpi Indonesia.  Pertama, diperlukan generasi muda yang memiliki kualitas integritas yang  tinggi. Pasalnya, Indonesia di masa depan sangat membutuhkan anak muda  yang berintegritas tinggi, serta memiliki mentalitas antikorupsi.  Indikasi diperlukannya integritas tinggi dan mentalitas antikorupsi ini  terlihat dari problem korupsi yang kian menggerogoti sendi-sendi  kehidupan bangsa. Inilah salah satu upaya untuk memperbaiki wajah  Indonesia di masa depan. Karena itu, pemerintah dan institusi pendidikan  perlu memfasilitasi terbangunnya mentalitas antikorupsi di kalangan  pemuda, pelajar, dan mahasiswa. 
Kedua, kapasitas keahlian dan  intelektual yang cukup mumpuni. Para mahasiswa, misalnya, perlu  mendalami studinya secara serius agar menjadi spesialis keilmuan  tertentu, yaitu memiliki spesialisasi dalam menguasai suatu bidang  pengetahuan secara mendalam sesuai dengan bidang studinya masing-masing.  Para pemuda perlu memiliki skill tertentu untuk  bersaing di dunia kerja. Indonesia di masa depan jelas memerlukan  generasi muda yang profesional dan menguasai ilmu pengetahuan secara  “mendalam” untuk memenangi kompetisi sekaligus mewujudkan mimpi  Indonesia. Karena itu, negara wajib menyediakan akses dan fasilitas  pendidikan yang murah dan terjangkau. 
Ketiga, karakter  kepemimpinan yang peduli dan profesional. Karakter ini tidak bisa  didapatkan di dalam ruang-ruang kelas. Kepemimpinan didapatkan dari  pengalaman aktivitas keorganisasian, baik di kampus maupun di lingkungan  masyarakat. Di situlah para pemuda dan mahasiswa ditempa untuk  menyelesaikan berbagai konflik dan persoalan, diasah kemampuan  manajerialnya, dan dilatih untuk peduli dan memahami lingkungan serta  masyarakatnya. Di sini pula, kepekaan sosial dan kekritisan sering kali  tumbuh. Justru para pemuda dan mahasiswa yang memiliki karakter  kepemimpinan inilah yang di masa depan diperlukan untuk menggerakkan  masyarakat dalam meraih kesuksesan kolektif sekaligus menggapai  kegemilangan Indonesia. 
 
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ayo bergabung disini.... boleh berkomentar... asal sopan dan intelek, humoris, serta dapat menambah wawasan dan persaudaraan