Dalam catatan sejarah, bangsa Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada saat mayoritas elemen bangsa sedang menunaikan ibadah puasa. Pada saat ini pun, di usianya yang ke-65 tahun, pesta kemerdekaan jatuh pada bulan puasa, saat masyarakat muslim disibukkan dengan intensitas ibadah.
Secara fisik dan dalam kacamata awam, orang yang sedang berpuasa sering digambarkan dengan kondisi tubuh yang lemah, tidak bertenaga, tidak bersemangat, dan bermalas-malasan. Sebab, selama lebih kurang 12 jam tidak tersuapi makanan dan minuman, terlebih lagi dalam tekanan psikis karena terjajah.
Sebuah ironi dengan kemerdekaan. Tidak mungkin kemerdekaan dapat dideklarasikan dengan kondisi fisik yang lemah dan kemerdekaan tidak mungkin bisa direbut kalau tidak didasari oleh semangat yang tinggi.
Kemerdekaan adalah suatu kondisi tidak terjajah oleh koloni ketidakadilan dan dehumanistik. Lalu, apa relevansi makna Ramadhan dengan kemerdekaan atau bagaimana puasa bisa mendorong kehendak merdeka?
Paling tidak, pertanyaan tersebut bisa ditemukan jawabannya dengan merevitalisasi substansi puasa dalam kehidupan sosial. Tidak cukup dipahami bahwa puasa adalah ibadah formal yang hanya cukup digugurkan kewajibannya selama sebulan penuh, sedangkan bulan-bulan berikutnya tidak terpantul secara implementatif oleh efek ibadah puasa. Setiap detik dan setiap saat perilaku-perilaku sosial seharusnya terpancar oleh sinar-sinar substansi yang diajarkan oleh ibadah puasa.
Liberasi
Kelahiran agama pada dasarnya membawa semangat liberatif bagi umat manusia, pembebas dari kezaliman sosial, kemungkaran dan ketidakadilan sosial untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera (
rahmatan lil’alamin). Semangat tersebut termanifestasi melalui simbol-simbol ritus keagamaan, termasuk juga pada puasa.
Puasa adalah menahan dan mengendalikan diri dari segala perbuatan dehumanisasi yang bisa menurunkan kualitas dan bahkan membatalkan puasa. Walaupun pengendalian diri menuntut upaya personal atau bersifat pribadi, akan bermakna jika bisa memberikan implikasi pada kepentingan sosial. Yang perlu ditekankan adalah bagaimana proses aksi pengendalian diri yang bermula dari diri sendiri itu dimuarakan pada kemaslahatan bersama, kepentingan bangsa dan masyarakat luas.
Dalam buku
Fiqh al-Shiyam, Yusuf Qaradhowi mengemukakan berbagai hikmah ibadah puasa. Salah satunya,
tarbiyah li al-iradah, puasa mengajarkan untuk berkehendak. Pilihan untuk tidak makan dan minum serta berhubungan suami-istri pada siang hari merupakan wujud dari melaksanakan kehendak walaupun hal tersebut sangat sulit. Dalam konteks yang lebih luas, bagaimana pendidikan berkehendak tersebut bisa termanifestasi dalam kehidupan sosial.
Potret kesejarahan kemerdekaan Indonesia telah mengajarkan kita. Meskipun dengan kondisi psikis yang tertekan dan fisik yang lemah, bangsa Indonesia masih memiliki kehendak. Kehendak untuk bebas dari bentuk penindasan dan penjajahan.
Berkehendak adalah kekayaan jiwa yang kita miliki dalam mengarungi hidup. Namun, tidak banyak yang menyadarinya. Kita sebenarnya bisa. Menahan dan mengendalikan diri dari perbuatan korupsi, misalnya, tindakan pengambilan keputusan yang luar biasa, apalagi jika kehendak itu ditransformasi kepada yang lain. Diam dan tidak berbuat bukan ajaran dari puasa.
Solidaritas masyarakat
Hikmah puasa yang lain adalah terpupuknya rasa empati kepada sesama. Adanya perasaan yang sama mengharuskan untuk berbuat minimal sama dengan rasa empati yang terbangun dalam jiwa orang yang berpuasa. Tidak cukup merasakan rasa tidak makan dan minum selama lebih kurang 12 jam (keterbatasan dan kekurangan) dengan hanya memberikan makan dan minum untuk memenuhi kekosongan perut.
Namun, bagaimana hal tersebut bisa terjawab secara implementatif dengan aksi-aksi sosial yang bersifat memberdayakan, bukan karikatif. Inilah yang disebut nilai solidaritas berbasis komunitas, solidaritas yang didasarkan pada bangunan perasaan yang sama, derita keterbatasan, rasa ketidakadilan, dan frustrasi sosial.
Puasa harus melahirkan jiwa solidaritas tinggi.
Namun, perasaan sama mulai kehilangan titik kesejarahannya seiring dengan mulai terkikisnya nilai keadilan dan kesejahteraan bangsa kita. Bangsa sudah mulai berani dengan sadar dan sengaja melukai bangsanya sendiri dan membunuh hak generasinya. Melalui perilaku culas yang dipraktikkan bangsa kita sendiri.
Korupsi merupakan pencurian besar terhadap hak generasi. Rakyat kecil juga berani melakukan hal yang sama walaupun dengan skala kecil dan modus yang berbeda. Memberikan formalin, zat pemutih, dan zat kimia lain pada setiap dagangannya yang dikonsumsi bangsanya sendiri. Wujud perilaku dehumanisasi tersebut karena hilangnya rasa perasaan sama.
Pada 65 tahun yang lalu, para pendiri bangsa kita telah mengajarkan dan telah dibuktikan bahwa merebut kemerdekaan harus dengan jiwa dan semangat liberatif. Semangat tersebut lahir karena ada perasaan sama, perasaan ingin merdeka dan terbebas dari segala bentuk penjajahan. Kita berharap bisa mengambil pelajaran dari puasa dan bisa meneladani nilai kemerdekaan lain untuk tidak menzalimi yang lain.
(Hasan Ashari)