Tampilkan postingan dengan label religi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label religi. Tampilkan semua postingan
Kamis, 22 Agustus 2019
Selasa, 28 Agustus 2012
SEJARAH HAJAR AZWAD
AYO IKUTI SEJARAH ISLAM
Hajar Aswad, Batuan dari Surga
Hajar Aswad adalah batu berwarna hitam kemerah-merahan, terletak di sudut selatan, sebelah kiri pintu Ka’bah. Ketinggiannya 1,10 m dari permukaan tanah. Ia tertanam di dinding Ka’bah.Dahulu, Hajar Aswad berupa satu batu yang berdiameter ± 30 cm. Akibat berbagai peristiwa yang menimpanya selama ini, sekarang Hajar Aswad tersisa delapan butir batu kecil sebesar kurma yang dikelilingi oleh bingkai perak. Namun, tidak semua yang terdapat di dalam bingkai adalah Hajar Aswad. Butiran Hajar Aswad tepat berada di tengah bingkai. Butiran inilah yang disentuh dan dicium oleh jamaah haji.
Hajar Aswad berasal dari surga. Awalnya batu ini berwarna putih. Namun, dia menjadi hitam disebabkan oleh dosa manusia. Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Hajar Aswad turun dari surga dalam keadaan lebih putih daripada susu. Lalu, dosa-dosa Bani Adam lah yang membuatnya hitam.” Demikianlah, bagian dalam Hajar Aswad berwarna putih, sedangkan bagian luarnya berwarna hitam.
Hajar Aswad selalu dimuliakan, baik pada masa Jahiliah, maupun setelah Islam datang.
Hingga, pada musim haji tahun 317 H, saat dunia Islam sangat lemah dan bercerai berai, kesempatan ini dimanfaatkan oleh Abu Thahir Al-Qurmuthi, seorang kepala salah satu suku Syi’ah Ismailiyah di Jazirah Arab bagian timur, untuk merampas Hajar Aswad. Dengan 700 anak buah bersenjata lengkap dia mendobrak Masjid Al-Haram dan membongkar Ka’bah secara paksa lalu merebut Hajar Aswad dan mengangkutnya ke negaranya yang terletak di kota Ahsa’ yang terletak di wilayah Bahrain, kawasan Teluk Persia sekarang.
Kemudian, ia membuat maklumat dengan menantang umat Islam. Inti dari maklumat itu, jika ingin mengambil Hajar Aswad, tebuslah dengan sejumlah uang yang pada saat itu sangat berat bagi umat Islam atau dengan perang. Baru setelah 22 tahun (tahun 339 H) batu itu dikembalikan ke Mekah oleh Khalifah Abbasiyah Al-Muthi’ lillah setelah ditebus dengan uang sebanyak 30.000 Dinar. Mereka membawanya ke Kufah, lalu menggantungkannya ke tiang ke tujuh Masjid Jami’. Setelah itu, mereka mengembalikannya ke tempat semula.
Penulis: Ristyandani
Referensi: Athlasul Hajj wal ‘Umrah, Dr. Sami Maghluts dan sumber lain.
Sumber: Majalah Tashfiyah, edisi 01, vol. 01 1432 H – 2011 M, hal. 84-86.
hajar aswad , mencium hajar aswad , hukum mencium hajar aswad , asal usul haji , asal usul hajar aswad , asal usul naik haji , asal mula ibadah haji , asal usul hajarul aswad, asal usul masjidil haram , asal usul kabah , Asal usul , asal mula hukum , asal usul mencium hajar aswad , hadist tentang mencium hajar aswad , hukum mencium hajar aswat , asal usul ibadah haji , asal-usul , asal usul hukum , asal mula hajar aswat, asal muasal ibadah haji
*****
HUKUM MENCIUM HAJAR ASWAD UNTUK MENCARI TABARRUK
Tanya :
Apakah hikmah mencium hajar aswad itu adalah tabarruk (mencari berkah)?
Jawab :
Hikmah thawaf telah dijelaskan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dengan sabdanya,
Adapun dugaan sebagian orang-orang awam (bodoh) bahwa maksud dari mencium hajar aswad adalah untuk mendapat berkah adalah dugaan yang tidak mempunyai dasar, maka dari itu batil. Sedangkan yang dinyatakan oleh sebagian kaum Zindiq (kelompok sesat) bahwa thawaf di Baitullah itu sama halnya dengan thawaf di kuburan para wali dan ia merupakan penyembahan terhadap berhala, maka hal itu merupakan kezindikan (kekufuran) mereka, sebab kaum Muslimin tidak melakukan thawaf kecuali atas dasar perintah Allah, sedangkan apa saja yang perin-tahkan oleh Allah, maka melaksanakannya merupakan ibadah kepada-Nya.
Tidakkah anda tahu bahwa melakukan sujud kepada selain Allah itu merupakan syirik akbar, namun ketika Allah Subhannahu wa Ta’ala memerintahkan kepada para malaikat agar sujud kepada Nabi Adam, maka sujud kepada Adam itu merupakan ibadah kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dan tidak melakukannya merupakan kekufuran?!
Maka dari itu, thawaf di Baitullah adalah merupakan salah satu ibadah yang paling agung, ia merupakan salah satu rukun di dalam haji, sedangkan haji merupakan salah satu rukun Islam. Maka dari itu orang yang thawaf di Baitullah pasti akan merasakan ketentraman karena lezat-nya melakukan thawaf dan hatinya merasakan kedekatannya kepada Rabb (Tuhan)nya, yang dengannya (thawaf itu) dapat diketahui keagungan-Nya dan amat besarnya karunia-Nya. Wallahul musta’an.
( Ibnu Utsaimin: fatawal ‘aqidah, hal. 28-29. )
****Jawab :
Hikmah thawaf telah dijelaskan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dengan sabdanya,
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللهِ.
“Sesungguhnya Thawaf di Ka’bah, Sa’i di antara Shafa dan Marwah, dan melontar jumroh itu dijadikan untuk menegakkan dzikrullah.”
Pelaku Thawaf yang mengitari Baitullah itu dengan hatinya ia melakukan pengagungan kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala yang menjadikannya selalu ingat kepada Allah, semua gerak-geriknya, seperti melangkah, mencium dan beristilam kepada hajar dan sudut (rukun) yamani dan memberi isyarat kepada hajar aswad sebagai dzikir kepada Allah Ta’ala, sebab hal itu bagian dari ibadah kepada-Nya. Dan setiap ibadah adalah dzikir kepada Allah dalam pengertian umumnya. Adapun takbir, dzikir dan do’a yang diucapkan dengan lisan adalah sudah jelas merupakan dzikrullah; sedangkan mencium hajar aswad itu merupakan ibadah di mana seseorang menciumnya tanpa ada hubungan antara dia dengan hajar aswad selain beribadah kepada Allah semata dengan mengagungkan-Nya dan mencontoh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dalam hal itu, sebagaimana ditegaskan oleh Amirul Mu’minin, Umar bin Khattab Radhiallaahu anhu ketika beliau mencium hajar aswad mengatakan, “Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau (hajar aswad) tidak dapat mendatangkan bahaya, tidak juga manfa’at. Kalau sekiranya aku tidak melihat Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”Adapun dugaan sebagian orang-orang awam (bodoh) bahwa maksud dari mencium hajar aswad adalah untuk mendapat berkah adalah dugaan yang tidak mempunyai dasar, maka dari itu batil. Sedangkan yang dinyatakan oleh sebagian kaum Zindiq (kelompok sesat) bahwa thawaf di Baitullah itu sama halnya dengan thawaf di kuburan para wali dan ia merupakan penyembahan terhadap berhala, maka hal itu merupakan kezindikan (kekufuran) mereka, sebab kaum Muslimin tidak melakukan thawaf kecuali atas dasar perintah Allah, sedangkan apa saja yang perin-tahkan oleh Allah, maka melaksanakannya merupakan ibadah kepada-Nya.
Tidakkah anda tahu bahwa melakukan sujud kepada selain Allah itu merupakan syirik akbar, namun ketika Allah Subhannahu wa Ta’ala memerintahkan kepada para malaikat agar sujud kepada Nabi Adam, maka sujud kepada Adam itu merupakan ibadah kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dan tidak melakukannya merupakan kekufuran?!
Maka dari itu, thawaf di Baitullah adalah merupakan salah satu ibadah yang paling agung, ia merupakan salah satu rukun di dalam haji, sedangkan haji merupakan salah satu rukun Islam. Maka dari itu orang yang thawaf di Baitullah pasti akan merasakan ketentraman karena lezat-nya melakukan thawaf dan hatinya merasakan kedekatannya kepada Rabb (Tuhan)nya, yang dengannya (thawaf itu) dapat diketahui keagungan-Nya dan amat besarnya karunia-Nya. Wallahul musta’an.
( Ibnu Utsaimin: fatawal ‘aqidah, hal. 28-29. )
Kisah Pembangunan Ka’bah dan Peletakan Hajar Aswad
Selain itu, bangunan Ka’bah dulunya belumlah beratap. Tingginya pun hanya sembilan hasta. Ini menyebabkan orang begitu mudah untuk memanjatnya dan mencuri barang-barang berharga yang ada di dalamnya.
Oleh karena itu bangsa Quraisy akhirnya sepakat untuk memperbaiki bangunan Ka’bah tersebut dengan terlebih dahulu merobohkannya.
Untuk perbaikan Ka’bah ini, orang-orang Quraisy hanya menggunakan harta yang baik-baik saja. Mereka tidak menerima harta dari hasil melacur, riba dan hasil perampasan.
Di awal-awal perbaikan, pada awalnya mereka masih takut untuk merobohkan Ka’bah. Akhirnya salah seorang dari mereka yang bernama Al-Walid bin Al-Mughirah Al-Makhzumy bangkit mengawali perobohan tersebut. Setelah melihat tidak ada hal buruk yang terjadi pada Al-Walid, orang-orang Quraisy pun mulai ikut merobohkan Ka’bah sampai ke bagian rukun Ibrahim.
Mereka kemudian membagi sudut-sudut Ka’bah dan mengkhususkan setiap kabilah dengan bagian-bagiannya sendiri. Pembangunan kembali Ka’bah ini dipimpin oleh seorang arsitek dari bangsa Romawi yang bernama Baqum.
Rasulullah ikut Membangun
Rasulullah sendiri ikut bersama-sama yang lain membangun kabah. Beliau bergabung bersama paman beliau Abbas radhiyallahu ‘anhu. Ketika beliau mengambil batu-batu, Abbas menyarankan kepada beliau untuk mengangkat jubah beliau hingga di atas lutut. Namun Allah menakdirkan agar aurat beliau senantiasa tertutup, sehingga belum sempat beliau mengangkat jubahnya, beliau jatuh terjerembab ke tanah.
Beliau kemudian memandang ke atas langit sambil berkata, “Ini gara-gara jubahku, ini gara-gara jubahku”. Setelah itu aurat beliau tidaklah pernah terlihat lagi.
Peletakan Hajar Aswad
Sebelum kita lanjutkan kisah ini, tahukah kalian apa itu hajar aswad?
Hajar Aswad adalah sebuah batu yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari surga. Dulu batu itu berwarna putih, namun karena dosa-dosa anak Adam, maka batu itu pun berubah menjadi berwarna hitam.
Nah, ketika pembangunan sudah sampai ke bagian Hajar Aswad, bangsa Quraisy berselisih tentang siapa yang mendapatkan kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya semula. Mereka berselisih sampai empat atau lima hari. Perselisihan ini bahkan hampir menyebabkan pertumpahan darah.
Abu Umayyah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi kemudian memberikan saran kepada mereka agar menyerahkan keputusan kepada orang yang pertama kali lewat pintu masjid. Bangsa Quraisy pun menyetujui ide ini.
Allah subhanahu wa ta’ala kemudian menakdirkan bahwa orang yang pertama kali lewat pintu masjid adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang Quraisy pun ridha dengan diri beliau sebagai penentu keputusan dalam permasalahan tersebut.
Rasulullah pun kemudian menyarankan suatu jalan keluar yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh mereka. Bagaimana jalan keluarnya?
Beliau mengambil selembar selendang. Kemudian Hajar Aswad itu diletakkan di tengah-tengan selendang tersebut. Beliau lalu meminta seluruh pemuka kabilah yang berselisih untuk memegang ujung-ujung selendang itu. Mereka kemudian mengangkat Hajar Aswad itu bersama-sama. Setelah mendekati tempatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-lah yang kemudian meletakkan Hajar Aswad tersebut.
Ini merupakan jalan keluar yang terbaik. Seluruh kabilah setuju dan meridhai jalan keluar ini. Mereka pun tidak jadi saling menumpahkan darah.
Akhir Pembangunan Ka’bah
Bangsa Quraisy akhirnya kehabisan dana dari penghasilan baik-baik yang mereka kumpulkan. Mereka akhirnya menyisakan bangunan Ka’bah di bagian utara seukuran enam hasta yang kemudian disebut Al-Hijir atau Al-Hathim.
Mereka juga membuat pintu Ka’bah lebih tinggi daripada permukaan tanah. Setelah bangunan Ka’bah mencapai ketinggian lima belas hasta, mereka memasang atap dengan disangga enam sendi.
Ka’bah pun selesai dibangun kembali. Tingginya sekarang lima belas meter, panjang sisinya di bagian Hajar Aswad dan sebaliknya adalah sepuluh meter. Hajar aswad sendiri diletakkan satu setengah meter dari lantai. Adapun sisi yang lain panjangnya dua belas meter. Pintu Ka’bah diletakkan dua meter dari permukaan tanah. (*)
Kamis, 04 Agustus 2011
Puasa dan Kemerdekaan
Dalam catatan sejarah, bangsa Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada saat mayoritas elemen bangsa sedang menunaikan ibadah puasa. Pada saat ini pun, di usianya yang ke-65 tahun, pesta kemerdekaan jatuh pada bulan puasa, saat masyarakat muslim disibukkan dengan intensitas ibadah.
Secara fisik dan dalam kacamata awam, orang yang sedang berpuasa sering digambarkan dengan kondisi tubuh yang lemah, tidak bertenaga, tidak bersemangat, dan bermalas-malasan. Sebab, selama lebih kurang 12 jam tidak tersuapi makanan dan minuman, terlebih lagi dalam tekanan psikis karena terjajah.
Sebuah ironi dengan kemerdekaan. Tidak mungkin kemerdekaan dapat dideklarasikan dengan kondisi fisik yang lemah dan kemerdekaan tidak mungkin bisa direbut kalau tidak didasari oleh semangat yang tinggi.
Kemerdekaan adalah suatu kondisi tidak terjajah oleh koloni ketidakadilan dan dehumanistik. Lalu, apa relevansi makna Ramadhan dengan kemerdekaan atau bagaimana puasa bisa mendorong kehendak merdeka?
Paling tidak, pertanyaan tersebut bisa ditemukan jawabannya dengan merevitalisasi substansi puasa dalam kehidupan sosial. Tidak cukup dipahami bahwa puasa adalah ibadah formal yang hanya cukup digugurkan kewajibannya selama sebulan penuh, sedangkan bulan-bulan berikutnya tidak terpantul secara implementatif oleh efek ibadah puasa. Setiap detik dan setiap saat perilaku-perilaku sosial seharusnya terpancar oleh sinar-sinar substansi yang diajarkan oleh ibadah puasa.
Liberasi
Kelahiran agama pada dasarnya membawa semangat liberatif bagi umat manusia, pembebas dari kezaliman sosial, kemungkaran dan ketidakadilan sosial untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera (rahmatan lil’alamin). Semangat tersebut termanifestasi melalui simbol-simbol ritus keagamaan, termasuk juga pada puasa.
Puasa adalah menahan dan mengendalikan diri dari segala perbuatan dehumanisasi yang bisa menurunkan kualitas dan bahkan membatalkan puasa. Walaupun pengendalian diri menuntut upaya personal atau bersifat pribadi, akan bermakna jika bisa memberikan implikasi pada kepentingan sosial. Yang perlu ditekankan adalah bagaimana proses aksi pengendalian diri yang bermula dari diri sendiri itu dimuarakan pada kemaslahatan bersama, kepentingan bangsa dan masyarakat luas.
Dalam buku Fiqh al-Shiyam, Yusuf Qaradhowi mengemukakan berbagai hikmah ibadah puasa. Salah satunya, tarbiyah li al-iradah, puasa mengajarkan untuk berkehendak. Pilihan untuk tidak makan dan minum serta berhubungan suami-istri pada siang hari merupakan wujud dari melaksanakan kehendak walaupun hal tersebut sangat sulit. Dalam konteks yang lebih luas, bagaimana pendidikan berkehendak tersebut bisa termanifestasi dalam kehidupan sosial.
Potret kesejarahan kemerdekaan Indonesia telah mengajarkan kita. Meskipun dengan kondisi psikis yang tertekan dan fisik yang lemah, bangsa Indonesia masih memiliki kehendak. Kehendak untuk bebas dari bentuk penindasan dan penjajahan.
Berkehendak adalah kekayaan jiwa yang kita miliki dalam mengarungi hidup. Namun, tidak banyak yang menyadarinya. Kita sebenarnya bisa. Menahan dan mengendalikan diri dari perbuatan korupsi, misalnya, tindakan pengambilan keputusan yang luar biasa, apalagi jika kehendak itu ditransformasi kepada yang lain. Diam dan tidak berbuat bukan ajaran dari puasa.
Solidaritas masyarakat
Hikmah puasa yang lain adalah terpupuknya rasa empati kepada sesama. Adanya perasaan yang sama mengharuskan untuk berbuat minimal sama dengan rasa empati yang terbangun dalam jiwa orang yang berpuasa. Tidak cukup merasakan rasa tidak makan dan minum selama lebih kurang 12 jam (keterbatasan dan kekurangan) dengan hanya memberikan makan dan minum untuk memenuhi kekosongan perut.
Namun, bagaimana hal tersebut bisa terjawab secara implementatif dengan aksi-aksi sosial yang bersifat memberdayakan, bukan karikatif. Inilah yang disebut nilai solidaritas berbasis komunitas, solidaritas yang didasarkan pada bangunan perasaan yang sama, derita keterbatasan, rasa ketidakadilan, dan frustrasi sosial.
Namun, perasaan sama mulai kehilangan titik kesejarahannya seiring dengan mulai terkikisnya nilai keadilan dan kesejahteraan bangsa kita. Bangsa sudah mulai berani dengan sadar dan sengaja melukai bangsanya sendiri dan membunuh hak generasinya. Melalui perilaku culas yang dipraktikkan bangsa kita sendiri.
Korupsi merupakan pencurian besar terhadap hak generasi. Rakyat kecil juga berani melakukan hal yang sama walaupun dengan skala kecil dan modus yang berbeda. Memberikan formalin, zat pemutih, dan zat kimia lain pada setiap dagangannya yang dikonsumsi bangsanya sendiri. Wujud perilaku dehumanisasi tersebut karena hilangnya rasa perasaan sama.
Pada 65 tahun yang lalu, para pendiri bangsa kita telah mengajarkan dan telah dibuktikan bahwa merebut kemerdekaan harus dengan jiwa dan semangat liberatif. Semangat tersebut lahir karena ada perasaan sama, perasaan ingin merdeka dan terbebas dari segala bentuk penjajahan. Kita berharap bisa mengambil pelajaran dari puasa dan bisa meneladani nilai kemerdekaan lain untuk tidak menzalimi yang lain.
(Hasan Ashari)
Secara fisik dan dalam kacamata awam, orang yang sedang berpuasa sering digambarkan dengan kondisi tubuh yang lemah, tidak bertenaga, tidak bersemangat, dan bermalas-malasan. Sebab, selama lebih kurang 12 jam tidak tersuapi makanan dan minuman, terlebih lagi dalam tekanan psikis karena terjajah.
Sebuah ironi dengan kemerdekaan. Tidak mungkin kemerdekaan dapat dideklarasikan dengan kondisi fisik yang lemah dan kemerdekaan tidak mungkin bisa direbut kalau tidak didasari oleh semangat yang tinggi.
Kemerdekaan adalah suatu kondisi tidak terjajah oleh koloni ketidakadilan dan dehumanistik. Lalu, apa relevansi makna Ramadhan dengan kemerdekaan atau bagaimana puasa bisa mendorong kehendak merdeka?
Paling tidak, pertanyaan tersebut bisa ditemukan jawabannya dengan merevitalisasi substansi puasa dalam kehidupan sosial. Tidak cukup dipahami bahwa puasa adalah ibadah formal yang hanya cukup digugurkan kewajibannya selama sebulan penuh, sedangkan bulan-bulan berikutnya tidak terpantul secara implementatif oleh efek ibadah puasa. Setiap detik dan setiap saat perilaku-perilaku sosial seharusnya terpancar oleh sinar-sinar substansi yang diajarkan oleh ibadah puasa.
Liberasi
Kelahiran agama pada dasarnya membawa semangat liberatif bagi umat manusia, pembebas dari kezaliman sosial, kemungkaran dan ketidakadilan sosial untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera (rahmatan lil’alamin). Semangat tersebut termanifestasi melalui simbol-simbol ritus keagamaan, termasuk juga pada puasa.
Puasa adalah menahan dan mengendalikan diri dari segala perbuatan dehumanisasi yang bisa menurunkan kualitas dan bahkan membatalkan puasa. Walaupun pengendalian diri menuntut upaya personal atau bersifat pribadi, akan bermakna jika bisa memberikan implikasi pada kepentingan sosial. Yang perlu ditekankan adalah bagaimana proses aksi pengendalian diri yang bermula dari diri sendiri itu dimuarakan pada kemaslahatan bersama, kepentingan bangsa dan masyarakat luas.
Dalam buku Fiqh al-Shiyam, Yusuf Qaradhowi mengemukakan berbagai hikmah ibadah puasa. Salah satunya, tarbiyah li al-iradah, puasa mengajarkan untuk berkehendak. Pilihan untuk tidak makan dan minum serta berhubungan suami-istri pada siang hari merupakan wujud dari melaksanakan kehendak walaupun hal tersebut sangat sulit. Dalam konteks yang lebih luas, bagaimana pendidikan berkehendak tersebut bisa termanifestasi dalam kehidupan sosial.
Potret kesejarahan kemerdekaan Indonesia telah mengajarkan kita. Meskipun dengan kondisi psikis yang tertekan dan fisik yang lemah, bangsa Indonesia masih memiliki kehendak. Kehendak untuk bebas dari bentuk penindasan dan penjajahan.
Berkehendak adalah kekayaan jiwa yang kita miliki dalam mengarungi hidup. Namun, tidak banyak yang menyadarinya. Kita sebenarnya bisa. Menahan dan mengendalikan diri dari perbuatan korupsi, misalnya, tindakan pengambilan keputusan yang luar biasa, apalagi jika kehendak itu ditransformasi kepada yang lain. Diam dan tidak berbuat bukan ajaran dari puasa.
Solidaritas masyarakat
Hikmah puasa yang lain adalah terpupuknya rasa empati kepada sesama. Adanya perasaan yang sama mengharuskan untuk berbuat minimal sama dengan rasa empati yang terbangun dalam jiwa orang yang berpuasa. Tidak cukup merasakan rasa tidak makan dan minum selama lebih kurang 12 jam (keterbatasan dan kekurangan) dengan hanya memberikan makan dan minum untuk memenuhi kekosongan perut.
Namun, bagaimana hal tersebut bisa terjawab secara implementatif dengan aksi-aksi sosial yang bersifat memberdayakan, bukan karikatif. Inilah yang disebut nilai solidaritas berbasis komunitas, solidaritas yang didasarkan pada bangunan perasaan yang sama, derita keterbatasan, rasa ketidakadilan, dan frustrasi sosial.
Puasa harus melahirkan jiwa solidaritas tinggi.
Namun, perasaan sama mulai kehilangan titik kesejarahannya seiring dengan mulai terkikisnya nilai keadilan dan kesejahteraan bangsa kita. Bangsa sudah mulai berani dengan sadar dan sengaja melukai bangsanya sendiri dan membunuh hak generasinya. Melalui perilaku culas yang dipraktikkan bangsa kita sendiri.
Korupsi merupakan pencurian besar terhadap hak generasi. Rakyat kecil juga berani melakukan hal yang sama walaupun dengan skala kecil dan modus yang berbeda. Memberikan formalin, zat pemutih, dan zat kimia lain pada setiap dagangannya yang dikonsumsi bangsanya sendiri. Wujud perilaku dehumanisasi tersebut karena hilangnya rasa perasaan sama.
Pada 65 tahun yang lalu, para pendiri bangsa kita telah mengajarkan dan telah dibuktikan bahwa merebut kemerdekaan harus dengan jiwa dan semangat liberatif. Semangat tersebut lahir karena ada perasaan sama, perasaan ingin merdeka dan terbebas dari segala bentuk penjajahan. Kita berharap bisa mengambil pelajaran dari puasa dan bisa meneladani nilai kemerdekaan lain untuk tidak menzalimi yang lain.
(Hasan Ashari)
Rabu, 18 Mei 2011
taklukkan diri sendiri
Selama kita masih dibodohi oleh KEINGINAN-KEINGINAN,
Selama itu pula kita tidak akan mendapatkan kebahagiaan.
Kita harus mampu menaklukkan diri sendiri,
Dari perbuatan yang menghinakan menghinakan diri
Dari KEBANGGAAN SEMU dengan banyaknya harta
Musuh yang paling besar adalah diri kita sendiri
Benteng hitam yang paling kokoh adalah nafsu
Yang bersemayam di dalam dada ini
Taklukkan diri sendiri niscaya akan dapat menaklukkan dunia
Perangi hawa nafsu niscaya akan mendapat kemenangan
Apabila syetan telah menggerogoti dada,
Memompa nafsu,
Menggerayangi kalbu,
Sehingga menjadi takut dan was-was dengan KEMISKINAN,
Maka segeralah berlindung kepada Sang Pencipta
“Dan jika kamu ditimpa suatu godaan syetan , maka berlindunglahkepada allah. Sesungguhnya allah maha mendengar dan maha mengetahui” (QS AL’Araaf (7) :200)
Tekan segala keinginan yang kurang bermanfaat;
Perteguh hati dengan perbuatan-perbuatan yang baik;
Dan benahi hati dari dendam kesumat, iri dan dengki
Hilangkan rasa bangga terhadap diri sendiri dan merendahkan orang lain.
Ketuklah pintu Rab-mu ketika marah, membenci sesuatu,
jiwa tergoncang dan jiwa labil..
Ikhlaskan dan bertawakkallah kepada-Nya
“...Dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat allah (zikrullah). ingatlah hanya dengan mengingat allah lah hati menjadi tentram (QS Ar-Ra’d (13) : 28)
Allah-lah mata air ketentraman batin.
Nafsu menjadi dingin dengan melakukan perintah-NYA
Mata menjadi sejuk dengan ber”tamu” kepada-NYA saat malam tiba;
Dengan bertakwa kepada-NYA
Keresahan berubah menjadi kesenangan.
Hanya dengan mengingat-NYA ,
Kita akan mampu menekan hawa nafsu, egoisme dan kecongkakan diri
dan berhenti dari kemaksiatan.
"Yaitu orang-orang yang apabila mereka berbuat dosa dan menganiaya diri mereka sendiri, mereka segera ingat Allah dan langsung memohon ampun atas dosa-dosanya dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa tersebut." ( QS Ali Imran : 135)
Dengan menaklukkan diri sendiri
Kita telah terbebas dari penjara kesengsaraan,
Telah terhindar dari jalan yang berlubang
Telah menyingkir dari badai yang menggulung,
Telah terbebas dari penyakit hati, dan
Telah lepas dari ikatan kita dengan syetan
Seperti camar yang menari diatas awan.
Ia jauh dari pemangsa
Dan berbahagia di lengkung indahnya pelangi.
Musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri.
Dia bagaikan tali tali rantai
Yang mengikat tawanan dengan kekuatan besinya.
Hanya dengan melepaskan diri darinya,
Hidup kita akan menjadi sentosa
Sebab tidak akan ada lagi yang mengikat kita
Untuk terbang menuju kebahagiaan hakiki.
Jadilah seperti mawar
Jangan seperti benalu yang tidak berharga,
Jangan seperti debu yang tidak bernilai,
Jangan seperti batu yang terinjak-injak dijalanan.
Jadilah keras seperti intan
Yang bersemayam di persembunyiannya yang kokoh
Yang hanya keluar untuk sang Pemilik-Nya
Kemurnian intan selalu terjaga,
Kesejukan sinarnya melebihi embun pagi diujung daun
Lekukan wajahnya kian memancarkan ketenangan
Namun dia kokoh melebihi bebatuan....
Jangan sampai cahayamu padam
Karena sebuah bola api yang kecil
Karena seekor serangga yang haus,
Bola api dan serangga bukanlah halangan
Untuk tetap melebarkan sayap keindahanmu
Jangan sampai kesulitan hidup membuatmu menyerah!
Jika ingin hidup...
Maka kehidupan itu berada ditengah-tengah bahaya,
Maka kehidupan itu akan penuh dengan kesulitan
Janganlah menghindar darinya...
Atasilah kesulitan-kesulitan itu.
Kesulitan selalu merupakan berkah yang tersembunyi
Karena akan mendatangkan yang terbaik.
Tidak ada jalan lain yang harus kita lewati
Selain jalan menuju Rahmat-NYA.
Tidak ada pintu yang kita ketuk
Saat seluruh pintu manusia tertutup untuk kita,
Kecuali Pintu-Nya.
Tiada tali yang kuat tuk tempat bergantung
Selain tali-NYA
Dan tidak ada karunia yang kita harapkan,
Kecuali karuniaNYA
YA Allah ..
Ya Rahman ...
Ya Rahim...
Ya Tuhan kami..
Hati kami telah lelah,
Tenaga kami telah terkuras
Airmata telah melelehkan semangat kami,
Langkah kamipun telah gontai
Dan bumi tempat kami berpijakpun telah bergoyang.
Ya Allah yang sinar-Mu memenuhi Timur dan Barat,
Terangilah pula kiranya hati kami
Dan bersihkan airmata kami dengan kesabaran dan ketenangan
Angkatlah Hijab kesulitan yang membuat airmata kami menetes
Lupakanlah ingatan kami akan awan hitam yang melekat
Dan ringankanlah langkah kami yang gontai ...
Menuju ampunan dan keridloan-Mu
Ya Allah sempurnakanlah sinar-Mu
Tunjukilah dan bimbinglah kami,
Besarlah rasa maaf-Mu,
Maafkanlah dosa-dosa kami
Hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami
Bagi-Mulah segala puja dan puji....
(Bulan Cahaya)
Selama itu pula kita tidak akan mendapatkan kebahagiaan.
Kita harus mampu menaklukkan diri sendiri,
Dari perbuatan yang menghinakan menghinakan diri
Dari KEBANGGAAN SEMU dengan banyaknya harta
Musuh yang paling besar adalah diri kita sendiri
Benteng hitam yang paling kokoh adalah nafsu
Yang bersemayam di dalam dada ini
Taklukkan diri sendiri niscaya akan dapat menaklukkan dunia
Perangi hawa nafsu niscaya akan mendapat kemenangan
Apabila syetan telah menggerogoti dada,
Memompa nafsu,
Menggerayangi kalbu,
Sehingga menjadi takut dan was-was dengan KEMISKINAN,
Maka segeralah berlindung kepada Sang Pencipta
“Dan jika kamu ditimpa suatu godaan syetan , maka berlindunglahkepada allah. Sesungguhnya allah maha mendengar dan maha mengetahui” (QS AL’Araaf (7) :200)
Tekan segala keinginan yang kurang bermanfaat;
Perteguh hati dengan perbuatan-perbuatan yang baik;
Dan benahi hati dari dendam kesumat, iri dan dengki
Hilangkan rasa bangga terhadap diri sendiri dan merendahkan orang lain.
Ketuklah pintu Rab-mu ketika marah, membenci sesuatu,
jiwa tergoncang dan jiwa labil..
Ikhlaskan dan bertawakkallah kepada-Nya
“...Dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat allah (zikrullah). ingatlah hanya dengan mengingat allah lah hati menjadi tentram (QS Ar-Ra’d (13) : 28)
Allah-lah mata air ketentraman batin.
Nafsu menjadi dingin dengan melakukan perintah-NYA
Mata menjadi sejuk dengan ber”tamu” kepada-NYA saat malam tiba;
Dengan bertakwa kepada-NYA
Keresahan berubah menjadi kesenangan.
Hanya dengan mengingat-NYA ,
Kita akan mampu menekan hawa nafsu, egoisme dan kecongkakan diri
dan berhenti dari kemaksiatan.
"Yaitu orang-orang yang apabila mereka berbuat dosa dan menganiaya diri mereka sendiri, mereka segera ingat Allah dan langsung memohon ampun atas dosa-dosanya dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa tersebut." ( QS Ali Imran : 135)
Dengan menaklukkan diri sendiri
Kita telah terbebas dari penjara kesengsaraan,
Telah terhindar dari jalan yang berlubang
Telah menyingkir dari badai yang menggulung,
Telah terbebas dari penyakit hati, dan
Telah lepas dari ikatan kita dengan syetan
Seperti camar yang menari diatas awan.
Ia jauh dari pemangsa
Dan berbahagia di lengkung indahnya pelangi.
Musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri.
Dia bagaikan tali tali rantai
Yang mengikat tawanan dengan kekuatan besinya.
Hanya dengan melepaskan diri darinya,
Hidup kita akan menjadi sentosa
Sebab tidak akan ada lagi yang mengikat kita
Untuk terbang menuju kebahagiaan hakiki.
Jadilah seperti mawar
Jangan seperti benalu yang tidak berharga,
Jangan seperti debu yang tidak bernilai,
Jangan seperti batu yang terinjak-injak dijalanan.
Jadilah keras seperti intan
Yang bersemayam di persembunyiannya yang kokoh
Yang hanya keluar untuk sang Pemilik-Nya
Kemurnian intan selalu terjaga,
Kesejukan sinarnya melebihi embun pagi diujung daun
Lekukan wajahnya kian memancarkan ketenangan
Namun dia kokoh melebihi bebatuan....
Jangan sampai cahayamu padam
Karena sebuah bola api yang kecil
Karena seekor serangga yang haus,
Bola api dan serangga bukanlah halangan
Untuk tetap melebarkan sayap keindahanmu
Jangan sampai kesulitan hidup membuatmu menyerah!
Jika ingin hidup...
Maka kehidupan itu berada ditengah-tengah bahaya,
Maka kehidupan itu akan penuh dengan kesulitan
Janganlah menghindar darinya...
Atasilah kesulitan-kesulitan itu.
Kesulitan selalu merupakan berkah yang tersembunyi
Karena akan mendatangkan yang terbaik.
Tidak ada jalan lain yang harus kita lewati
Selain jalan menuju Rahmat-NYA.
Tidak ada pintu yang kita ketuk
Saat seluruh pintu manusia tertutup untuk kita,
Kecuali Pintu-Nya.
Tiada tali yang kuat tuk tempat bergantung
Selain tali-NYA
Dan tidak ada karunia yang kita harapkan,
Kecuali karuniaNYA
YA Allah ..
Ya Rahman ...
Ya Rahim...
Ya Tuhan kami..
Hati kami telah lelah,
Tenaga kami telah terkuras
Airmata telah melelehkan semangat kami,
Langkah kamipun telah gontai
Dan bumi tempat kami berpijakpun telah bergoyang.
Ya Allah yang sinar-Mu memenuhi Timur dan Barat,
Terangilah pula kiranya hati kami
Dan bersihkan airmata kami dengan kesabaran dan ketenangan
Angkatlah Hijab kesulitan yang membuat airmata kami menetes
Lupakanlah ingatan kami akan awan hitam yang melekat
Dan ringankanlah langkah kami yang gontai ...
Menuju ampunan dan keridloan-Mu
Ya Allah sempurnakanlah sinar-Mu
Tunjukilah dan bimbinglah kami,
Besarlah rasa maaf-Mu,
Maafkanlah dosa-dosa kami
Hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami
Bagi-Mulah segala puja dan puji....
(Bulan Cahaya)
MAKAN KETIKA LAPAR, BERHENTI SEBELUM KENYANG
Sabda Nabi SAW : “’Tiada tempat yang lebih buruk, yang dipenuhi anak Adam daripada perutnya, cukuplah bagi mereka beberapa suap yang dapat menyambung hidupnya, jika hal itu tidak bisa dihindari maka masing-masing sepertiga bagian untuk makanannya, minumnya dan nafasnya.” (HR: Ahmad, An-Nasaa’i, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi )
Sahabat Rumah yatim Indonesia yang dicintai Allah SWT, ada rumus untuk selalu sehat sepanjang hidup : "Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang". Tidak hanya menyangkut tubuh, tapi juga keseluruhan mental sejarah. Ia adalah aplikasi sekadar teori keilmuan tentang keefektifan dan efisiensi.
Selama ini pemahaman-pemahaman nilai budaya kita cenderung mentabukan perut. Orang yang hidupnya terlalu profesional dan hanya mencari uang, kita sebut "diperbudak oleh perut". Para koruptor kita gelari "hamba perut" yang mengorbankan kepentingan Negara dan rakyat demi perutnya sendiri.
Padahal ia bukanlah hamba perut. Sebab, kebutuhan perut amat sederhana dan terbatas. Ia sekadar penampung dan distributor sejumlah zat yang diperlukan untuk memelihara kesehatan tubuh. Perut tidak pernah mempersoalkan, apakah kita memilih nasi pecel atau pizza, lembur kuring atau masakan Jepang.
Yang menuntut lebih pertama-tama adalah lidah. Perut tidak menolak untuk disantuni dengan jenis makanan cukup seharga seribu rupiah. Tetapi lidah mendorong kita harus mengeluarkan sepuluh ribu, seratus ribu atau terkadang sejuta rupiah.
Mahluk lidah termasuk yang menghuni batas antara jasmani dengan rohani. Satu kaki lidak berpijak di kosmos jasmani, kaki lainnya berpijak di semesta rohani. Dengan kaki yang pertama ia memanggul kompleks tentang rasa dan selera; tidak cukup dengan standar 4 sehat 5 sempurna, ia membutuhkan variasi dan kemewahan. Semestinya cukup di warung pojok pasar, tapi bagian lidah yang ini memperkuda manusia untuk mencari berbagai jenis makanan, inovasi, dan paradigma teknologi makanan, yang dicari ke seantero kota dan desa. Biayanya menjadi ratusan kali lipat.
Dengan kaki lainnya lidah memikul penyakit yang berasal dari suatu dunia misterius yang bernama mentalitas, nafsu, serta kecenderungan -kecenderungan aneh yang menyilati budaya manusia. Makan yang dalam konteks perut hanya berarti menjaga kesehatan, di kaki lida itu diperluas menjadi bagian dari kompleks kultur, status sosial, gengsi, foedalisme, kepriyayian, serta penyakit-penyakit kejiwaan komunitas manusia lainnya.
Kecenderungan ini membuat makan tidak lagi sekedar makan dengan konteks perut dan kesehatan tubuh, melainkan dipalsuan, dimanipulir atau diartifisialkan menajadi urusan kultur dan peradaban yang biayanya menjadi sangat mahal.
Budaya artifisialisasi makan ini dieksploitasi dan kemudian dipacu oleh etos industrialisasi segala bidang kehidupan, serta disahkkan oleh kepercayaan budaya makan, pembaruan teknologi konsumsi, jenis makanannya, panggung tempat makannya, nuansanya, lagu-lagu pengiringnya, pewarnaan meja kursi, dindingnya hingga karaokenya.
Artifisialisasi budaya makan itu akhirnya menciptakan berbagai ketergantungan manusia, sehingga agar selamat sejahtera dalam keterlanjuran ketergantungan itu, manusia bernegosiasi di bursa efek, menyunat uang proyek, memborong barang-barang, bahkan berperang membunuh satu sama lain.
Padahal perut hanya membutuhkan "makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang".
Maka yang bernama "makan sejati" ialah makan yang sungguh-sungguh untuk perut. Adapun yang pada umumnya yang kita lakukan selama ini adalah "memberi makan kepada nafsu". Perut amat sangat terbatas dan Allah mengajarinya untuk tahu membatasi diri. Sementara nafsu adalah api yang tiada terhingga skala pembesaran atau pemuaiannya. Jika filosofi makan dirobek dan dibocorkan menuju banjir bandang nafsu tidak terbatas, jika ia diartifisialkan dan dipalsukan dan tampaknya itulah satu bahan utama berbagai konflik dan ketidakadilan sejarah ummat manusia, maka sesungguhnya itulah contoh paling konkret dari terbunuhnya efisiensi dan keefektifan.
Rekayasa budaya makan pada masyarakat kita, dari naluri sehari-hari hingga aplikasinya di pasal-pasal rancangan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, mengandung inefisiensi atau keborosan dan keserakahan, yang terbukti mengancam alam dan kehidupan manusia sendiri, disamping sangat tdak efektif mencapai hakikat tujuan makan itu sendiri.
Sahabat, terfikirkah kita ketika kita sedang menikmati sebuah hidangan yang istimewa, bersyukurlah kita karena ada sekian juta saudara kita yang bisa makan apa adanya.
DIKUTIP DARI TEMAN
Sahabat Rumah yatim Indonesia yang dicintai Allah SWT, ada rumus untuk selalu sehat sepanjang hidup : "Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang". Tidak hanya menyangkut tubuh, tapi juga keseluruhan mental sejarah. Ia adalah aplikasi sekadar teori keilmuan tentang keefektifan dan efisiensi.
Selama ini pemahaman-pemahaman nilai budaya kita cenderung mentabukan perut. Orang yang hidupnya terlalu profesional dan hanya mencari uang, kita sebut "diperbudak oleh perut". Para koruptor kita gelari "hamba perut" yang mengorbankan kepentingan Negara dan rakyat demi perutnya sendiri.
Padahal ia bukanlah hamba perut. Sebab, kebutuhan perut amat sederhana dan terbatas. Ia sekadar penampung dan distributor sejumlah zat yang diperlukan untuk memelihara kesehatan tubuh. Perut tidak pernah mempersoalkan, apakah kita memilih nasi pecel atau pizza, lembur kuring atau masakan Jepang.
Yang menuntut lebih pertama-tama adalah lidah. Perut tidak menolak untuk disantuni dengan jenis makanan cukup seharga seribu rupiah. Tetapi lidah mendorong kita harus mengeluarkan sepuluh ribu, seratus ribu atau terkadang sejuta rupiah.
Mahluk lidah termasuk yang menghuni batas antara jasmani dengan rohani. Satu kaki lidak berpijak di kosmos jasmani, kaki lainnya berpijak di semesta rohani. Dengan kaki yang pertama ia memanggul kompleks tentang rasa dan selera; tidak cukup dengan standar 4 sehat 5 sempurna, ia membutuhkan variasi dan kemewahan. Semestinya cukup di warung pojok pasar, tapi bagian lidah yang ini memperkuda manusia untuk mencari berbagai jenis makanan, inovasi, dan paradigma teknologi makanan, yang dicari ke seantero kota dan desa. Biayanya menjadi ratusan kali lipat.
Dengan kaki lainnya lidah memikul penyakit yang berasal dari suatu dunia misterius yang bernama mentalitas, nafsu, serta kecenderungan -kecenderungan aneh yang menyilati budaya manusia. Makan yang dalam konteks perut hanya berarti menjaga kesehatan, di kaki lida itu diperluas menjadi bagian dari kompleks kultur, status sosial, gengsi, foedalisme, kepriyayian, serta penyakit-penyakit kejiwaan komunitas manusia lainnya.
Kecenderungan ini membuat makan tidak lagi sekedar makan dengan konteks perut dan kesehatan tubuh, melainkan dipalsuan, dimanipulir atau diartifisialkan menajadi urusan kultur dan peradaban yang biayanya menjadi sangat mahal.
Budaya artifisialisasi makan ini dieksploitasi dan kemudian dipacu oleh etos industrialisasi segala bidang kehidupan, serta disahkkan oleh kepercayaan budaya makan, pembaruan teknologi konsumsi, jenis makanannya, panggung tempat makannya, nuansanya, lagu-lagu pengiringnya, pewarnaan meja kursi, dindingnya hingga karaokenya.
Artifisialisasi budaya makan itu akhirnya menciptakan berbagai ketergantungan manusia, sehingga agar selamat sejahtera dalam keterlanjuran ketergantungan itu, manusia bernegosiasi di bursa efek, menyunat uang proyek, memborong barang-barang, bahkan berperang membunuh satu sama lain.
Padahal perut hanya membutuhkan "makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang".
Maka yang bernama "makan sejati" ialah makan yang sungguh-sungguh untuk perut. Adapun yang pada umumnya yang kita lakukan selama ini adalah "memberi makan kepada nafsu". Perut amat sangat terbatas dan Allah mengajarinya untuk tahu membatasi diri. Sementara nafsu adalah api yang tiada terhingga skala pembesaran atau pemuaiannya. Jika filosofi makan dirobek dan dibocorkan menuju banjir bandang nafsu tidak terbatas, jika ia diartifisialkan dan dipalsukan dan tampaknya itulah satu bahan utama berbagai konflik dan ketidakadilan sejarah ummat manusia, maka sesungguhnya itulah contoh paling konkret dari terbunuhnya efisiensi dan keefektifan.
Rekayasa budaya makan pada masyarakat kita, dari naluri sehari-hari hingga aplikasinya di pasal-pasal rancangan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, mengandung inefisiensi atau keborosan dan keserakahan, yang terbukti mengancam alam dan kehidupan manusia sendiri, disamping sangat tdak efektif mencapai hakikat tujuan makan itu sendiri.
Sahabat, terfikirkah kita ketika kita sedang menikmati sebuah hidangan yang istimewa, bersyukurlah kita karena ada sekian juta saudara kita yang bisa makan apa adanya.
DIKUTIP DARI TEMAN
Selasa, 28 Desember 2010
ESQ DALAM CATATAN
ESQ DALAM CATATAN
Krisis multi dimensi yang menimpa bangsa tercinta, bangsa Indonesia yang belum kunjung reda, dan bahkan makin melilit kuat menjerat rakyat kecil tanpa ada rasa belas kasih, serta membuat angka kemiskinan anak bangsa makin membesar, adalah akibat ulah tangan para pengelola yang tidak bertanggung-jawab. Keseimbangan yang merupakan ciri khas hokum penciptaan Allah diobrak-abrik oleh para pengelola bangsa yang buta mata hatinya. Berbagai upaya dilakukan oleh berbagai komponen bangsa, baik secara kolektif, krusial dan rumit.
Di antara sekian upaya yang dilakukan itu adalah apa yang dilakukan oleh Ary Ginanjar Agustian dengan ESQ Model-nya yang fenomenal. ESQ Model ini sudah tidak asing bagi masyarakat kita, bahkan buku monomental Ary yang berjudul “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual” sudah terjual lebih dari 150.000 eksemplar dan sudah dicetak lebih dari 20 kali!
Banyak sisi kebaikan yang terdapat di dalam ESQ Model ini, diantaranya adalah:
1. Menumbuhkan kesadaran akan eksistensi para peserta di muka bumi ini sebagai Khalifah (wakil Allah).
2. ESQ mampu menggugah nurani para peserta training dan mengenalkan wujud Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada mereka, kebesaran, keagungan,keperkasaan dan kemaha pemurahanNya.
3. ESQ mampu menghidupkan kembali cahaya nurani para peserta training yang selama ini padam.
4. ESQ mampu mengasah spiritualitas para peserta.
Hal itu tampak jelas dari pengakuan banyak mantan peserta training yang selama ini merasa hati (spiritualitas)nya kering kerontang.
Namun, dibalik berbagai kebaikan yang terdapat pada ESQ Model, terdapat pula sisi negatifnya, bahkan boleh dikata sudah menyangkut permasalahan yang sangat prinsip.
Di antara sisi negatif yang harus segera dihindari itu adalah sebagai berikut:
1. Ary Ginanjar yang mencetuskan model ESQ Training ini tidak mau mengatakan kalau ESQ Model yang diasuhnya adalah lembaga da‘wah atau sebagai kegiatan da‘wah, padahal training yang diselenggarakan tidak lepas dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi
wasallam, bahkan ada kutipan-kutipan perkataan shahabat nabi Shallallahu alaihi wasallam. Kenyataan ini ternyata berlawanan dengan yang tertera di dalam buku saku ESQ Model yang dibagikan kepada peserta secara gratis, sebagai berikut “ Tiada hari tanpa da‘wah” yang kemudian dikutip pula ayat al-Qur’an 125 dari Surah al-Nahl. Di sela-sela trainingnya di hadapan para peserta dan pada saat emosi dan spritual para peserta tersentuh Ary mengatakan ‘ini bukan sekedar training!’. Ia ucapkan lebih dari sekali. Namun hal ini tidak masalah, apakah ESQ Model itu disebut lembaga da‘wah atau bukan, akan tetapi jujur itu lebih baik ! Atau memang ada sesuatu hal yang terselubung di balik ESQ Model ini.
Wallahu a‘lam.
2. Setiap suasana emosi dan ektasi, dzikir dan do‘a selalu diiringi dengan lantunan musik lembut, dengan maksud agar bisa mencapai pada titik alpha, tutur Ary. Bahkan dentuman suara musik yang selalu mengawali acara training pun sampai membuat jantung terasa sakit, sehingga tidak mungkin acara-acara seperti ini diselenggarakan di masjid-masjid. Ia memang pantas kalau disenggarakan di hotel-hotel? Cara-cara seperti ini merupakan kebiasaan dan sunnah kaum nasrani yang kita dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengikutinya. Dalam kaedah ushul disebutkan: tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara.
3. Bershalawat sambil nyanyi pun dilakukan, bahkan Haddad Alawi yang berfaham Syi’ah yang sangat anti bershalawat kepada para shahabat Nabi menjadi bintang tamu. Dalam shalawatnya Alawi tidak pernah menyebut para shahabat Nabi.
4. Shalawat sambil menyanyi pun dianggap sebagai pengamalan terhadap perintah bershalawat kepada nabi yang tertera di dalam surah al-Ahzab.
5. Shalawat kepada nabi Shallallahu alaihi wasallam itu artinya memohon kepada Allah, berdo‘a kepada- Nya agar rahmat, kedudukan yang mulia di sisi- Nya dianugerahkan kepada Nabi Muhammad, Shallallahu alaihi wasallam. Oleh karena shalawat adalah do‘a, maka do‘a harus dilakukan sebagai mana do‘a lainnya, bukan dengan bernyanyi…..! Para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, para tabi‘in dan para pemuka imam Madzhab yang empat yang sudah tidak diragukan kecintaan mereka kepada nabi Shallallahu alaihi wasallam tidak pernah bershalawat dengan cara bernyanyi.
6. Nuansa sufistik pun sangat kental dalam trining ESQ ini,dzikir Lâ ilâha illalloh bersama sambil geleng-geleng kepala dengan suara nyaring pun dilakukan dan dipimpin oleh Ary sendiri.
7. Tafsir batiniy terhadap rukun iman dan rukun Islam pun sangat kental, terutama dalam menfasirkan surat al-Fatihah dan ritual haji, sebagaimana akan disebutkan di bawah.
8. Ketika peserta sudah berada dalam kondisi tersentuh spiritualitasnya mereka disuruh sujud dan minta ampun dan ada juga yang bertakbir histeris. Sujud apa ini? Tidak jelas…… Sehabis sujud kadang diselingi dengan teriyakan yel-yel ESQ, Mars ESQ atau senam erobic atau lainnya.
9. Untuk menambah suasana histeris, petugas menghampiri peserta yang histeris menangis dan memperdengarkannya kepada halayak melalui pengeras suara! Harus seperti inikah melatih dan mengasah ESQ para peserta ?
10. Tafsir sufi (batiniy, isyaariy) terhadap surah al-fatihah pun terjadi, seperti ihdinas shirâthal mustaqîm (Ihdinâs dengan H besar, yang harus dibunyikan dari dalam perut diartikan “menunjukkan kesungguhan dalam beraksi” dan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya diartikan secara paksa agar sesuai dengan jiwa managemen perusahaan.
11. Demikian pula tafsir terhadap ritual haji. Bahkan tiga hari pertama dari training terkesan diartikan sebagai prosesi wuquf, yang dalam ESQ training berwujud ZMP, sedangkan hari keempat sebagai prosesi thawaf dan sa‘i. Thawaf dan Sa‘i diartikan sebagai simbol kerja keras (total action).
Yang lebih nyeleneh lagi adalah pada hari keempat ada simulasi sa‘i dan thawaf yang tidak hanya sekedar simulasi, melainkan benar-benar harus dirasakan seperti melontar jumroh, sa‘i dan thawaf di Ka‘bah yang harus dilakukan dengan ikhlas dan dengan niat yang sebenarnya .Melontar diartikan membuang sifat-sifat buruk yang ada pada diri, dan yang dilempari pun adalah gambar makluq yang menyeramkan (syetan) yang telah disediakan panitia, berikut batu kerikil imitasinya. Sa‘i dan thawaf diartikan sebagai simbol kerja keras (total action). Seusai Sa‘I di tempat training, maka peserta harus melakukan thawaf di tempat yang sama dengan mengelilingi Ka‘bah buatan. Ini benar-benar ajaran sufi yang menyimpang.
12. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mengajarkan hal-hal seperti itu kepada para shahabatnya. Bahkan, Umar bin Khatthab, Radiyallahu anhu (yang selalu mendapat ilham) pada saat melaksnakan ibadah haji di masa ke-Khalifah-annya tidak pernah mempunyai pehaman
seperti itu. Malah saat beliau akan mengecup Hajar Aswad beliau berkata: Hai hajar Aswad, aku tahu bahwa kamu tidak bisa memberi menfaat dan tidak pula dapat mendatangkan mudarat. Kalau saja bukan karena aku telah melihat Rasulullah mengecupmu niscaya aku tidak akan mengecupmu.
13. Sebelum mereka melakukan ibadah haji pun sudah “total action”, bahkan mengerahkan semua kemampuan dalam beramal dengan semangat ikhlas dan ihsan sudah mereka sadari sebagai tuntutan tauhid dan ketulusan mengabdi kepada Allah swt, jauh sebelum mereka mengenal ibadah haji.
14. Dengan empat hari itu terkesan bahwa ajaran Islam sudah lengkap dan sempurna, maka ayat 3 suarah al-Ma’idah pun dibacakan sebagai tanda sempurnanya ajarannya. Dengan demikian ESQ Training mengesankan bahwa Islam ala ESQ itulah cerminan Islam sejati. Kesan ini pun lebih nampak lagi dengan dibuatnya kartu alumni bagi para peserta yang telah mengikuti training selama 4 hari, yang dengan kartu itu peserta dapat mengechas kembali iman mereka, sekalipun beberapa alumni sedang ‘ngechas’ yang kami wawancarai mengatakan “kami tidak menangis seperti waktu dulu saat training, karena tidak ada yang baru lagi bagi kami”.
15. Bagi Ary, sumber utama kebenaran adalah suara hati. Kebenaran ‘Suara hati’ bagi Ary di atas kebenaran al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Berikut ungkapnya: “Pergunakanlah suara hati anda yang terdalam sebagai sumber kebenaran, …..” Lebih lanjut ia mengatakan: “…., dan ayat-ayat Al Qur’an sebagai dasar berpijak (legitimasi). Dan yang terpenting adalah legitimasi suara hati anda sendiri, sebagai nara sumber kebenaran sejati” (Lihat: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual. Hal. Liv).
Suara hati dalam bahasa kaum sufi sering disebut dengan Dzauq (rasa hati) yang pada prinsipnya sama, yaitu sumber kebenaran sejati. Maka tidak heran kalau dari mulut mereka kita dengar ungkapan “haddatsanii robbii ‘an nafsii” (Tuhan ku menginformasikan kepada ku melalui jiwa ku). Juga ungkapan: “kalian belajar kepada orang yang sudah mati, sedangkan kami belajar langsung kepada Yang Maha Hidup”.
16. Keyakinan Ary yang lebih rancu dan sangat berbahaya lagi adalah ungkapannya bahwa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dalam kepribadiannya sebagai Rasul yang sekaligus sebagai pemimpin abadi sangat mengandalkan logika dan suara hati. Berikut ungkapannya: “Itulahtanda bahwa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam merupakan nabi penutup, atau yang terakhir, yang begitu mengandalkan logika dan suara hati, …….” (Lihat buku Rahasia Sukses …. ESQ, hal. 100). Padahal kita kaum muslimin meyakini bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam selalu bersandar kepada wayu ilahi yang diturunkan melaui Jibril. Wahyu ilahi bukan suara hati!
17. Bisakah Ary membedakan mana suara Tuhan dan mana suara syetan! Saya hawatir akan muncul Mirza Ghulam Ahmad abad 21 dan Lia Aminuddin baru lagi ! Apa lagi Ary mulai dan sering mengutarakan hal-hal ganjil, seperti melihat cahaya yang ia yakini Allah, dan merasa ada hantaman angin di wajahnya sehabis memberikan materi trainingnya, yang ia yakini hembusan angin malaikat ! Subhanallah!!
18. Misteri Graha 165. Adalah graha yang dirancang untuk pusat Training ESQ. Setelah uji kelayakan tanah, ternyata tanah ini serupa kwalitasnya dengan tanah di Mekkah, maka Graha ESQ merupakan satu- satunya bangunan pencakar langit di Ibu kota yang dibangun tidak menggunakan pondasi pancang. Hal ini dianggap sebagai ‘karomah’ bagi Ary dan ESQ-nya. Sample tanahnya pun dibuat cindera mata yang dipersembahkan kepada salah seorang tokoh di antar peserta training. Graha ini pun dalam rencananya dilengkapi dengan satu ruang samedi (pertapaan) khusus bagi para alumni ESQ yang terletak di paling puncak bangunan. Ia bukan mushalla dan bukan juga masjid. Sebab mushalla sudah di sediakan di lantai bawah. Hal ini diungkapkan oleh Ary sendiri pada saat mengenalkan program pembangunan Graha 165 guna mendapatkan dukungan dana dari para peserta. Dalam Islam tidak ada samedi atau pertapaan. Bahkan, apa yang pernah dilakukan Nabi Shallallahu alaihi wasallam di gua Hira’ sebelum diangkat menjadi Nabi, beliau tidak pernah menganjurkannya kepada ummatnya dan tidak pernah pula dilakukan oleh seorang pun di antara shahabatnya. Islam hanya mengajarkan i‘tikaf yang hanya bisa dilakukan di masjid-masjid.
19.Ayat-ayat al-Qur’an sering diartikan tidak pada tempat atau maksud yang sesungguhnya, hal ini banyak terdapat di dalam buku monumentalnya. Seperti ayat Q.S 40 Surat al-Mu’minun, ayat 17, “Hari ini setiap orang mendapat balasan menurut usahanya. Hari ini tiada kezaliman. Allah sungguh cepat membuat perhitungan”. Ary jadikan ayat ini sebagai legitimasi terhadap hadiah yang diberikan kepada seorang karyawan berinisial “DS” oleh atasannya yang di luar dugaan sebelumnya, karena telah melakukan suatu pekerjaan tanpa mengharapkan sesuatu apapun. (Lihat kisahnya pada halaman 52 dari buku ESQ). Padahal ayat di atas berkenaan dengan pembalasan Allah di hari akhirat kelak, yaitu pada yaumul hisab.
20. ESQ Model yang dicetus oleh Ary nampaknya menganut faham pluralisme agama. Hal itu tampak dari ungkapan salah seorang Prof.UI yang menjadi salah satu petinggi ESQ dalam sambutannya pada acara penutupan training. Bahkan, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat yang menganut faham pluralis pun digandeng dan ditetapkan sebagai salah satu anggota sidang redaksi Majalah Nebula-nya ESQ yang dipimpin oleh Ary.
Faham pluralisme agama sudah difatwakan haram oleh majlis Ulama Indonesia tahun lalu, bahkan para ulama-ulama Islam sebelumnya menegaskan bahwa orang yang meyakini agama selain Islam benar adalah murtad.
21.Bagi para peserta yang selama ini belum pernah menangis karena takut kepada Allah, dan belum pernah merenungkan ayat-ayat al Qur’an dan ayat-ayat kauniyah, ESQ Training adalah segala-galanya. Bahkan akan berkesimpulan “ESQ Training” adalah jalan hidupnya. Dan bagi yang sudah pergi haji bersama group “ESQ Training” pun akan timbul rasa bahwa tidak sempurna bila tidak beribadah haji bersama group “ESQ Training”.
Tidak begitu halnya bagi orang yang sudah biasa dekat kepada Allah dan mengenal keagungan, kebesaran dan rahmat-Nya, ESQ Training itu biasa-biasa saja. Bahkan, bagi orang yang pernah tafaqquh fiddin dengan benar yang bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah secara komprehensif dan integral, ESQ Training perlu diluruskan.
22. Pengkultusan terhadap Ary dan ESQ-nya kini mulai kental terasa, dan jika tidak segera diwaspadai dan Ary tidak siap diberi nasihat dan selalu bersikap ZMP yang didengungkannya, maka tidak mustahil kalau “ESQ Training” akan menjadi agama baru bagi bangsa Indonesia. Apa lagi Ary dengan ESQ nya mendapat respon dari pemerintah, bahkan mereka yang ikut dalam training pun bukan sembarang orang, melainkan para petinggi negara!
23. Dalam mengartikan al-Asma’ul Husna dan dalam upaya merefleksikannya di dalam dunia bisnis dan leadership banyak disalahartikan dan
dipaksakan agar sesuai dengan keinginan Ary. Seperti nama “al-aakhir” diartikan Allah bersifat visioner, dan akhlaq yang harus diambil adalah manusia harus memiliki visi. Al-jaami’ yang berarti Maha Penghimpun, Ary merefleksikannya dalam arti keharusan “kerjasama”. Dan masih banyak lagi nama-nama Allah lainnya yang disalahartikan. Di dalam menanamkan asma’ul Husna ini Ary mengutip hadits palsu yang sering dipakai oleh kaum sufi untuk menanamkan ajarannya, yaitu: takhallquu biakhlaaqil-llah (berakhlaqlah dengan akhlaq-akhlaq Allah). Al-Matin: akhlaq yang harus diambil adalah sikap selalu berdisiplin. Kalau al-mutakkabbir yang ditiru atau diambil apanya ? Atau diartikan Yang Maha Pembesar, lalu kita berupaya ingin menjadi orang- orang pembesar? Kalau al-hamiid apa direfleksikan kepada upaya keras agar kita menjadi orang terpuji seperti Dia, sehingga pujian mengarah kepada kita? Lalu kalau Allah adalah al-Khaliq, maka yang ditiru adalah sifat berkreasinya! Sehingga ketika memahami al-asma’ul husna terdapat pemahaman yang kontradiksi antara merefleksikan nama-nama Allah tersebut pada diri kita, sehingga kita berbuat (bersikap dan bertindak) seperti Allah (sebagai subject), dengan merefleksikannya pada diri kita sehingga kita menjadi object. Seperti pada al-jaami‘ dan al-Khaliq. Sebaiknya saudara Ary tidak memaksakan ayat, hadits atau pun nama Allah agar bisa sesuai dengan kehendak dirinya. Bacalah buku-buku para ulama berkenaan dengan masalah ini, lalu hayatilah!
Dalam masalah ini, kadang apa yang ditulis oleh Ary dalam
bukunya,berbeda dengan yang ia sampaikan saat training.
24.Rukun iman juga mengalami tafsiran pemaksaan dari Ary, agar ESQ Training nya bisa dikatakan berdasarkan rukun iman (Mental Building). Untuk itu, rukun iman hanya difahami dengan pemahaman-pemahaman yang bisa diarahkan menjadi sebagai prinsip-prinsip leadership, tidak komprehensif. Demikian pula rukun Islam yang diartikan sebagai landasan ketangguhan pribadi. Syahadat rasul terkesan hanya shalawat nya sebagai bukti cinta kepada Rasul, bukan bagaimana menjadikan sunnahnya sebagai pegangan dan pedoman. Yang diambil hanya yang berkaitan dengan ke-leadership-annya saja.
25. Rujukan dan sandaran Ary dalam penulisan bukunya adalah buku-buku yang bermasalah, seperti Sejarah Kehidupan Nabi yang ditulis oleh M. Haikal, juga tulisan Ali Syariati yang menganut faham syi‘ah.
26. Hadits-hadits palsu yang biasa menjadi rujukan kaum sufi pun
dijadikan sandaran ESQ Model-nya Ary, baik dalam buku yang pertama
maupun dalam buku yang kedua. Sebut saja misalnya hadits palsu: Apabila engkau mengenal siapa dirimu, maka engkau mengenal siapa tuhannya, yang dalam terjemah letterlegnya sebagai berikut: Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia telah mengenal tuhannya. Hadits palsu ini telah menyeret kepada faham menunggal ing kawulo gusti (ittihaad, menyatu dengan Tuhan) dalam kalangan kaum sufi, dan ini pun terjadi dalam faham Ary. Setelah ia mengutip tulisan Ali Syari‘ati yang mengandung faham ittihad, Ary kemudian menyempurnakannya dengan apa yang ia sebut “untaian kata mutiara Syamsi Thabriz” yang berbunyi sebagai berikut: “Ka‘bah adalah pusat dunia. Semua wajah menghadap ke Ka‘bah. Tengoklah. Lihat ! Setiap orang menyembah jiwa masing-masing”. Faham sesat inilah yang dianut oleh al-Hallaj dan Syeikh Siti Jenar, yang aromanya sangat kental di dalam ESQ Model-nya Ary.
27. Begitu pula atsar-atsar palsu banyak dimuat dalam bukunya, seperti atsar (ucapan shahabat nabi atau tabi‘in), seperti atsar yang dinisbatkannya kepada Umar bin Khatthab, Radiyallahu anhu berikut: Hatiku telah melihat Tuhanku karena hijab (tirai) telah terangkat oleh taqwa. Barangsiapa yang telah terangkat hijab (tirai) antara dirinya dengan Allah, maka jadi jelaslah di dalam hatinya akan gambaran kerajaan bumi dan kerajaan langit”. (Lihat Buku Saku ESQ). Dalam kutipan-kutipan seperti ini Ary sama sakali tidak bersandar kepada rujukan-rujukan primer, melainkan mengekor kepada tokoh-tokoh sufi dan orang-orang yang tidak jelas ke-Islam-annya. Maklum, Ary bukan seorang pakar dalam ilmu Agama, melainkan seorang pebisnis tulen. Tetapi ia berani berbicara tentang masalah agama, bahkan dalam hal-hal yang sangat prinsip dalam agama. Semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua. Amin.
Masih banyak lagi catatan-catan yang seharusnya dituangkan disini untuk dijadikan bahan kajian dan kritikan yang membangun, bukan untuk menyudutkan atau mencemarkan nama baik Ary Ginanjar. Buku “Rahasia Sukses…… ESQ” karya Ary yang diberi pengantar oleh sejumlah tokoh itu banyak memuat kejanggalan dan hadits-hadits palsu, menempatkan ayat-ayat al-Qur’an bukan pada tempatnya, harus dikaji ulang dan dikritisi secara obyektif, sebagai wujud tawaashaw bil haqq.
Sebaiknya, setiap para alumni Training ESQ Model-nya Ary jangan menutup diri untuk belajar Islam lebih jauh, dan jangan mengkultuskan ESQ Model-nya Ary. Anda hendaknya tahu dan menyadari bahwa kelezatan spiritual yang anda rasakan dalam training ESQ itu sama sekali tidak menunjukkan kebenaran ESQ Model, sebab hal seperti bisa anda temukan di semua kelompok faham, bahkan di semua agama dan berbagai aliran kepercayaan!
Nabi Muhammad, Shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya telah menghayati sedalam-dalamnya ajaran Islam, sampai pada tingkat ihsan yang paling tinggi, maka bercerminlah kepada mereka, dan cermin itu ada di dalam sunnah Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
dikutip dari: http://www.nahimunkar.com/esq-dibicarakan-orang/
Kamis, 25 November 2010
kepercayaan
KEPERCAYAAN
THE BOOK OF LIFE (08/02)
Memahami Apa Adanya
Jelas, orang yang memahami kehidupan tidak menginginkan kepercayaan. Orang yang mencinta tidak punya kepercayaan—ia mencinta. Orang yang dipenuhi inteleklah yang punya kepercayaan, oleh karena intelek selalu mencari rasa aman, mencari perlindungan; ia selalu menghindari bahaya, dan dengan demikian ia membangun gagasan-gagasan, kepercayaan-keperrcayaan, cita-cita, yang di baliknya ia bisa berlindung. Apa yang terjadi bila Anda menggarap kekerasan secara langsung, sekarang? Anda akan menjadi bahaya bagi masyarakat; dan oleh karena batin melihat bahaya itu, ia berkata, “Saya akan mencapai cita-cita tanpa-kekerasan sepuluh tahun lagi”—suatu proses yang begitu fiktif, palsu ... Memahami apa adanya adalah lebih penting daripada menciptakan dan menganut cita-cita, oleh karena cita-cita adalah palsu, dan apa adanya adalah yang nyata. Memahami apa adanya membutuhkan kemampuan hebat, suatu batin yang tangkas dan tanpa-prasangka. Oleh karena kita tidak ingin menghadapi dan memahami apa adanya maka kita menciptakan banyak jalan untuk melarikan diri dan memberinya nama-nama indah sebagai cita-cita, kepercayaan, Tuhan. Jelas, hanya apabila saya melihat yang palsu sebagai palsu maka batin saya mampu melihat apa yang benar. Batin yang bingung dalam kepalsuan tidak pernah dapat menemukan kebenaran. Oleh karena itu, saya harus memahami apa yang palsu dalam hubungan-hubungan saya, dalam gagasan-gagasan saya, dalam segala sesuatu tentang diri saya, oleh karena untuk melihat kebenaran dibutuhkan pemahaman akan yang palsu. Tanpa membuang sebab-musabab ketidaktahuan, tidak mungkin ada pencerahan; dan mencari pencerahan ketika batin tak tercerahkan adalah hampa, tanpa makna sama sekali. Oleh karena itu, saya harus mulai melihat yang palsu dalam hubungan saya dengan gagasan-gagasan, dengan orang-orang, dengan benda-benda. Bila batin melihat apa yang palsu, maka apa yang benar muncul, lalu ada gairah kenikmatan, ada kebahagiaan.
THE BOOK OF LIFE (09/02)
Apa yang Kita Percaya
Apakah kepercayaan memberikan semangat? Dapatkah semangat bertahan tanpa kepercayaan; dan apakah semangat itu sendiri perlu, atau apakah diperlukan sejenis energi lain, suatu vitalitas, dorongan lain? Kebanyakan kita memiliki semangat untuk suatu hal. Kita sangat berminat dan bersemangat terhadap musik, terhadap olahraga, atau piknik. Kalau tidak dipupuk terus-menerus dengan sesuatu, semangat itu luntur, dan kita mempunyai semangat baru untuk sesuatu yang lain. Adakah daya, energi yang bisa bertahan, yang tidak bergantung pada kepercayaan?
Pertanyaan lain ialah: Apakah kita perlu suatu kepercayaan apa pun, dan kalau ya, mengapa perlu? Itulah salah satu masalahnya. Kita tidak perlu kepercayaan bahwa ada sinar matahari, ada pegunungan, ada sungai-sungai. Kita tidak perrlu kepercayaan bahwa kita bertengkar dengan istri kita. Kita tidak perlu kepercayaan bahwa kehidupan ini adalah kesengsaraan yang mengerikan dengan kepedihan, konflik, dan ambisi terus-menerus; itu adalah fakta. Tetapi kita menuntut kepercayaan bila kita ingin melarikan diri dari suatu fakta ke dalam apa yang tidak nyata.
THE BOOK OF LIFE (10/02)
Terguncang Oleh Kepercayaan
Jadi, agama Anda, kepercayaan Anda kepada Tuhan, adalah pelarian dari aktualitas, dan oleh karena itu bukan agama sama sekali. Orang kaya yang mengumpulkan uang melalui kekejaman, melalui ketidakjujuran, melalui eksploitasi yang licik percaya kepada Tuhan; dan Anda juga percaya kepada Tuhan, Anda juga licik, kejam, curiga, iri. Apakah Tuhan dapat ditemukan melalui ketidakjujuran, melalui penipuan, melalui tipuan pikiran yang licik? Oleh karena Anda mengumpulkan semua kitab suci dan berbagai simbol Tuhan, apakah itu menandakan Anda seorang yang religius? Jadi, agama bukanlah pelarian dari fakta; agama adalah pemahaman fakta apa adanya diri Anda dalam hubungan Anda sehari-hari; agama adalah cara Anda berpidato, cara Anda bicara, cara Anda memperlakukan pelayan Anda, cara Anda memperlakukan istri, anak-anak Anda, dan tetangga Anda. Selama Anda tidak memahami hubungan Anda dengan tetangga Anda, dengan masyarakat, dengan istri dan anak-anak Anda, tentu ada kekacauan; dan, apa pun yang dilakukannya, batin yang kacau hanya akan menghasilkan lebih banyak kekacauan, lebih banyak masalah dan konflik. Batin yang melarikan diri dari apa yang aktual, dari fakta-fakta hubungan, tidak akan pernah menemukan Tuhan; batin yang terguncang oleh kepercayaan tidak akan mengenal kebenaran. Tetapi batin yang memahami hubungannya dengan harta benda, dengan manusia, dengan gagasan, batin yang tidak lagi berkutat dengan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh hubungan, dan yang untuk itu pemecahannya bukanlah menarik diri melainkan memahami cinta—hanya batin seperti itu dapat memahami realitas.
THE BOOK OF LIFE (11/02)
Di Luar Kepercayaan
Kita menyadari bahwa kehidupan ini buruk, menyakitkan, menyedihkan; kita menginginkan suatu teori, suatu spekulasi atau kepuasan, suatu doktrin, yang akan menjelaskan semua ini, dan dengan demikian kita terperangkap di dalam penjelasan, di dalam kata-kata, di dalam teori, dan berangsur-angsur kepercayaan tertanam kokoh dan tak tergoyahkan, oleh karena di balik kepercayaan itu, di balik dogma itu, ada ketakutan yang menetap terhadap apa yang tak diketahui. Tetapi kita tidak pernah memandang ketakutan itu; kita berpaling darinya. Makin kuat kepercayaan, makin kuat pula dogmanya. Dan jika kita meneliti kepercayaan-kepercayaan ini—Kristen, Hindu, Buddhis—kita melihat bahwa kepercayaan-kepercayaan itu memecah-belah manusia. Setiap dogma, setiap kepercayaan memiliki serangkaian ritual, serangkaian kewajiban yang mengikat manusia dan memisahkan manusia. Jadi, kita mulai dengan menyelidik untuk menemukan apa yang benar, apa makna kesengsaraan ini, pergulatan ini, kesakitan ini; dan dengan segera kita terperangkap di dalam kepercayaan, di dalam ritual, di dalam teori.
Kepercayaan itu merusak, oleh karena di balik kepercayaan dan moralitas menyelinap pikiran, diri—diri itu tumbuh menjadi besar, kuat dan berkuasa. Kita menganggap kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan terhadap sesuatu sebagai agama. Kita menganggap percaya berarti religius. Pahamkah Anda? Jika Anda tidak percaya, Anda dianggap ateis, Anda akan dikutuk oleh masyarakat. Suatu masyarakat mengutuk mereka yang percaya Tuhan, masyarakat yang lain mengutuk mereka yang tidak percaya Tuhan. Kedua-duanya sama saja. Jadi, agama menjadi sekadar masalah kepercayaan—lalu kepercayaan bertindak dan mempengaruhi batin; lalu batin tidak mungkin menjadi bebas. Tetapi hanya di dalam kebebasan Anda dapat menemukan apa yang benar, apa itu Tuhan, bukan melalui kepercayaan apa pun, oleh karena kepercayaan Anda itu justru memproyeksikan apa yang Anda pikir Tuhan itu seharusnya, apa yang Anda pikir kebenaran itu seharusnya.
THE BOOK OF LIFE (12/02)
Tabir Kepercayaan
Anda percaya kepada Tuhan, dan orang lain tidak percaya kepada Tuhan; jadi kepercayaan Anda memisahkan Anda dari orang lain. Kepercayaan di seantero dunia diorganisir sebagai Hinduisme, Buddhisme, atau Kristianitas dll, dan itu memecah-belah manusia yang satu dari yang lain. Kita bingung, dan kita mengira bahwa melalui kepercayaan kita akan menjernihkan kebingungan itu. Artinya, kepercayaan diterapkan terhadap kebingungan itu, dan kita berharap dengan demikian kebingungan itu akan lenyap. Tetapi kepercayaan hanyalah sekadar pelarian dari fakta kebingungan; ia tidak membantu kita menghadapi dan memahami fakta kebingungan itu, melainkan melarikan diri dari kebingungan yang di dalamnya kita berada. Untuk memahami kebingungan tidak diperlukan kepercayaan, dan kepercayaan hanya berperan sebagai tabir di antara kita dengan masalah-masalah kita. Jadi, agama—yang adalah kepercayaan terorganisir—menjadi alat melarikan diri dari apa adanya, dari fakta kebingungan. Orang yang percaya kepada Tuhan, orang yang percaya kepada hari kemudian, atau yang mempunyai suatu bentuk kepercayaan lain, ia melarikan diri dari fakta dirinya. Tidakkah Anda pernah melihat orang yang percaya kepada Tuhan, yang melakukan ibadah, yang mengulang-ulang kata-kata dan doa-doa tertentu, dan yang dalam kehidupan sehari-harinya mendominasi, kejam, ambisius, penipu, tidak jujur? Apakah mereka akan menemukan Tuhan? Apakah mereka sungguh-sungguh mencari Tuhan? Apakah Tuhan akan ditemukan dengan mengulang-ulang kata-kata, melalui kepercayaan? Tetapi orang-orang seperti itu percaya kepada Tuhan, mereka memuja Tuhan, mereka pergi ke tempat ibadah setiap hari, mereka melakukan segala sesuatu untuk menghindari fakta diri mereka—dan orang-orang seperti itu Anda anggap terhormat karena mereka adalah Anda sendiri.
THE BOOK OF LIFE (13/02)
Menghadapi Kehidupan Secara Baru
Saya rasa, suatu hal yang kebanyakan dari kita senang menerima dan menganggap benar begitu saja adalah kepercayaan. Saya tidak menyerang kepercayaan. Yang kita coba lakukan ialah mengkaji mengapa kita menerima kepercayaan; dan jika kita dapat memahami motif, sebab-musabab dari penerimaan, maka mungkin kita bukan hanya dapat memahami mengapa kita melakukannya, tetapi juga bebas dari itu. Kita bisa melihat betapa kepercayaan politik dan religius, kepercayaan nasional dan jenis-jenis kepercayaan lain, justru memisahkan manusia, justru menciptakan konflik, kekacauan, dan antagonisme—ini fakta yang gamblang; namun tetap saja kita tidak mau melepaskannya. Ada kepercayaan Hindu, kepercayaan Kristen, kepercayaan Buddhis—kepercayaan nasional dan sektarian tak terhitung banyaknya, berbagai ideologi politik, semua bersaing satu sama lain, yang satu mencoba menarik yang lain masuk ke dalam golongannya. Kita dapat melihat dengan jelas, kepercayaan memisahkan manusia, menciptakan ketidaktoleranan; mungkinkah untuk hidup tanpa kepercayaan? Kita dapat menjawabnya hanya jika kita dapat mengkaji diri kita sendiri dalam berhubungan dengan suatu kepercayaan. Mungkinkah untuk hidup di dunia ini tanpa suatu kepercayaan—bukan mengubah kepercayaan, bukan mengganti suatu kepercayaan dengan kepercayaan lain, melainkan sama sekali bebas dari semua kepercayaan, sehingga kita menghadapi kehidupan ini secara baru dari menit ke menit? Bagaimana pun juga, inilah kebenarannya: yakni memiliki kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu secara baru, dari saat ke saat, tanpa reaksi dari masa lampau yang mengkondisikan, sehingga tidak ada efek kumulatif yang bertindak sebagai penghalang antara diri kita dengan apa adanya.
THE BOOK OF LIFE (14/02)
Kepercayaan Menghalangi Pemahaman Sejati
Jika kita tidak punya kepercayaan, apakah yang akan terjadi dengan kita? Bukankah kita sangat takut akan apa yang akan terjadi? Jika kita tidak mempunyai suatu pola tindakan berdasarkan suatu kepercayaan—baik kepercayaan pada Tuhan, atau pada komunisme, atau sosialisme, atau imperialisme, atau pada suatu rumusan religius tertentu, suatu dogma yang di dalamnya kita terkondisi—kita merasa sama sekali kehilangan arah, bukan? Dan bukankah menerima kepercayaan berarti menyelubungi ketakutan itu—ketakutan untuk berada sebagai bukan apa-apa sama sekali, untuk kosong sama sekali? Bagaimana pun juga, sebuah cangkir hanya bermanfaat kalau ia kosong; dan batin yang dipenuhi dengan kepercayaan, dengan dogma, dengan pernyataan, dengan kutipan, sesungguhnya adalah batin yang tidak kreatif; itu cuma batin yang mengulang-ulang. Untuk melarikan diri dari ketakutan itu—ketakutan akan kekosongan, ketakutan akan kesepian, ketakutan akan kemandekan, tidak sampai, tidak berhasil, tidak mencapai, tidak berada sebagai sesuatu, tidak menjadi sesuatu—sesungguhnya adalah salah satu alasan mengapa kita menerima kepercayaan dengan begitu berminat dan begitu rakus, bukan? Dan, dengan menerima kepercayaan, apakah kita memahami diri kita sendiri? Malah sebaliknya. Suatu kepercayaan, entah religius entah politis, jelas menghalangi pemahaman diri sendiri. Ia berperan sebagai tabir, yang melalui itu kita memandang diri kita sendiri. Dapatkah kita memandang diri sendiri tanpa kepercayaan? Jika kita membuang kepercayaan-kepercayaan ini, banyak kepercayaan yang kita miliki, masih adakah sesuatu untuk dipandang? Jika kita tidak mempunyai kepercayaan yang dengan itu batin melihat dirinya, maka batin—tanpa identifikasi—mampu memandang dirinya sendiri sebagai apa adanya—lalu, sesungguhnya terdapat awal dari pemahaman diri sendiri.
THE BOOK OF LIFE (08/02)
Memahami Apa Adanya
Jelas, orang yang memahami kehidupan tidak menginginkan kepercayaan. Orang yang mencinta tidak punya kepercayaan—ia mencinta. Orang yang dipenuhi inteleklah yang punya kepercayaan, oleh karena intelek selalu mencari rasa aman, mencari perlindungan; ia selalu menghindari bahaya, dan dengan demikian ia membangun gagasan-gagasan, kepercayaan-keperrcayaan, cita-cita, yang di baliknya ia bisa berlindung. Apa yang terjadi bila Anda menggarap kekerasan secara langsung, sekarang? Anda akan menjadi bahaya bagi masyarakat; dan oleh karena batin melihat bahaya itu, ia berkata, “Saya akan mencapai cita-cita tanpa-kekerasan sepuluh tahun lagi”—suatu proses yang begitu fiktif, palsu ... Memahami apa adanya adalah lebih penting daripada menciptakan dan menganut cita-cita, oleh karena cita-cita adalah palsu, dan apa adanya adalah yang nyata. Memahami apa adanya membutuhkan kemampuan hebat, suatu batin yang tangkas dan tanpa-prasangka. Oleh karena kita tidak ingin menghadapi dan memahami apa adanya maka kita menciptakan banyak jalan untuk melarikan diri dan memberinya nama-nama indah sebagai cita-cita, kepercayaan, Tuhan. Jelas, hanya apabila saya melihat yang palsu sebagai palsu maka batin saya mampu melihat apa yang benar. Batin yang bingung dalam kepalsuan tidak pernah dapat menemukan kebenaran. Oleh karena itu, saya harus memahami apa yang palsu dalam hubungan-hubungan saya, dalam gagasan-gagasan saya, dalam segala sesuatu tentang diri saya, oleh karena untuk melihat kebenaran dibutuhkan pemahaman akan yang palsu. Tanpa membuang sebab-musabab ketidaktahuan, tidak mungkin ada pencerahan; dan mencari pencerahan ketika batin tak tercerahkan adalah hampa, tanpa makna sama sekali. Oleh karena itu, saya harus mulai melihat yang palsu dalam hubungan saya dengan gagasan-gagasan, dengan orang-orang, dengan benda-benda. Bila batin melihat apa yang palsu, maka apa yang benar muncul, lalu ada gairah kenikmatan, ada kebahagiaan.
THE BOOK OF LIFE (09/02)
Apa yang Kita Percaya
Apakah kepercayaan memberikan semangat? Dapatkah semangat bertahan tanpa kepercayaan; dan apakah semangat itu sendiri perlu, atau apakah diperlukan sejenis energi lain, suatu vitalitas, dorongan lain? Kebanyakan kita memiliki semangat untuk suatu hal. Kita sangat berminat dan bersemangat terhadap musik, terhadap olahraga, atau piknik. Kalau tidak dipupuk terus-menerus dengan sesuatu, semangat itu luntur, dan kita mempunyai semangat baru untuk sesuatu yang lain. Adakah daya, energi yang bisa bertahan, yang tidak bergantung pada kepercayaan?
Pertanyaan lain ialah: Apakah kita perlu suatu kepercayaan apa pun, dan kalau ya, mengapa perlu? Itulah salah satu masalahnya. Kita tidak perlu kepercayaan bahwa ada sinar matahari, ada pegunungan, ada sungai-sungai. Kita tidak perrlu kepercayaan bahwa kita bertengkar dengan istri kita. Kita tidak perlu kepercayaan bahwa kehidupan ini adalah kesengsaraan yang mengerikan dengan kepedihan, konflik, dan ambisi terus-menerus; itu adalah fakta. Tetapi kita menuntut kepercayaan bila kita ingin melarikan diri dari suatu fakta ke dalam apa yang tidak nyata.
THE BOOK OF LIFE (10/02)
Terguncang Oleh Kepercayaan
Jadi, agama Anda, kepercayaan Anda kepada Tuhan, adalah pelarian dari aktualitas, dan oleh karena itu bukan agama sama sekali. Orang kaya yang mengumpulkan uang melalui kekejaman, melalui ketidakjujuran, melalui eksploitasi yang licik percaya kepada Tuhan; dan Anda juga percaya kepada Tuhan, Anda juga licik, kejam, curiga, iri. Apakah Tuhan dapat ditemukan melalui ketidakjujuran, melalui penipuan, melalui tipuan pikiran yang licik? Oleh karena Anda mengumpulkan semua kitab suci dan berbagai simbol Tuhan, apakah itu menandakan Anda seorang yang religius? Jadi, agama bukanlah pelarian dari fakta; agama adalah pemahaman fakta apa adanya diri Anda dalam hubungan Anda sehari-hari; agama adalah cara Anda berpidato, cara Anda bicara, cara Anda memperlakukan pelayan Anda, cara Anda memperlakukan istri, anak-anak Anda, dan tetangga Anda. Selama Anda tidak memahami hubungan Anda dengan tetangga Anda, dengan masyarakat, dengan istri dan anak-anak Anda, tentu ada kekacauan; dan, apa pun yang dilakukannya, batin yang kacau hanya akan menghasilkan lebih banyak kekacauan, lebih banyak masalah dan konflik. Batin yang melarikan diri dari apa yang aktual, dari fakta-fakta hubungan, tidak akan pernah menemukan Tuhan; batin yang terguncang oleh kepercayaan tidak akan mengenal kebenaran. Tetapi batin yang memahami hubungannya dengan harta benda, dengan manusia, dengan gagasan, batin yang tidak lagi berkutat dengan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh hubungan, dan yang untuk itu pemecahannya bukanlah menarik diri melainkan memahami cinta—hanya batin seperti itu dapat memahami realitas.
THE BOOK OF LIFE (11/02)
Di Luar Kepercayaan
Kita menyadari bahwa kehidupan ini buruk, menyakitkan, menyedihkan; kita menginginkan suatu teori, suatu spekulasi atau kepuasan, suatu doktrin, yang akan menjelaskan semua ini, dan dengan demikian kita terperangkap di dalam penjelasan, di dalam kata-kata, di dalam teori, dan berangsur-angsur kepercayaan tertanam kokoh dan tak tergoyahkan, oleh karena di balik kepercayaan itu, di balik dogma itu, ada ketakutan yang menetap terhadap apa yang tak diketahui. Tetapi kita tidak pernah memandang ketakutan itu; kita berpaling darinya. Makin kuat kepercayaan, makin kuat pula dogmanya. Dan jika kita meneliti kepercayaan-kepercayaan ini—Kristen, Hindu, Buddhis—kita melihat bahwa kepercayaan-kepercayaan itu memecah-belah manusia. Setiap dogma, setiap kepercayaan memiliki serangkaian ritual, serangkaian kewajiban yang mengikat manusia dan memisahkan manusia. Jadi, kita mulai dengan menyelidik untuk menemukan apa yang benar, apa makna kesengsaraan ini, pergulatan ini, kesakitan ini; dan dengan segera kita terperangkap di dalam kepercayaan, di dalam ritual, di dalam teori.
Kepercayaan itu merusak, oleh karena di balik kepercayaan dan moralitas menyelinap pikiran, diri—diri itu tumbuh menjadi besar, kuat dan berkuasa. Kita menganggap kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan terhadap sesuatu sebagai agama. Kita menganggap percaya berarti religius. Pahamkah Anda? Jika Anda tidak percaya, Anda dianggap ateis, Anda akan dikutuk oleh masyarakat. Suatu masyarakat mengutuk mereka yang percaya Tuhan, masyarakat yang lain mengutuk mereka yang tidak percaya Tuhan. Kedua-duanya sama saja. Jadi, agama menjadi sekadar masalah kepercayaan—lalu kepercayaan bertindak dan mempengaruhi batin; lalu batin tidak mungkin menjadi bebas. Tetapi hanya di dalam kebebasan Anda dapat menemukan apa yang benar, apa itu Tuhan, bukan melalui kepercayaan apa pun, oleh karena kepercayaan Anda itu justru memproyeksikan apa yang Anda pikir Tuhan itu seharusnya, apa yang Anda pikir kebenaran itu seharusnya.
THE BOOK OF LIFE (12/02)
Tabir Kepercayaan
Anda percaya kepada Tuhan, dan orang lain tidak percaya kepada Tuhan; jadi kepercayaan Anda memisahkan Anda dari orang lain. Kepercayaan di seantero dunia diorganisir sebagai Hinduisme, Buddhisme, atau Kristianitas dll, dan itu memecah-belah manusia yang satu dari yang lain. Kita bingung, dan kita mengira bahwa melalui kepercayaan kita akan menjernihkan kebingungan itu. Artinya, kepercayaan diterapkan terhadap kebingungan itu, dan kita berharap dengan demikian kebingungan itu akan lenyap. Tetapi kepercayaan hanyalah sekadar pelarian dari fakta kebingungan; ia tidak membantu kita menghadapi dan memahami fakta kebingungan itu, melainkan melarikan diri dari kebingungan yang di dalamnya kita berada. Untuk memahami kebingungan tidak diperlukan kepercayaan, dan kepercayaan hanya berperan sebagai tabir di antara kita dengan masalah-masalah kita. Jadi, agama—yang adalah kepercayaan terorganisir—menjadi alat melarikan diri dari apa adanya, dari fakta kebingungan. Orang yang percaya kepada Tuhan, orang yang percaya kepada hari kemudian, atau yang mempunyai suatu bentuk kepercayaan lain, ia melarikan diri dari fakta dirinya. Tidakkah Anda pernah melihat orang yang percaya kepada Tuhan, yang melakukan ibadah, yang mengulang-ulang kata-kata dan doa-doa tertentu, dan yang dalam kehidupan sehari-harinya mendominasi, kejam, ambisius, penipu, tidak jujur? Apakah mereka akan menemukan Tuhan? Apakah mereka sungguh-sungguh mencari Tuhan? Apakah Tuhan akan ditemukan dengan mengulang-ulang kata-kata, melalui kepercayaan? Tetapi orang-orang seperti itu percaya kepada Tuhan, mereka memuja Tuhan, mereka pergi ke tempat ibadah setiap hari, mereka melakukan segala sesuatu untuk menghindari fakta diri mereka—dan orang-orang seperti itu Anda anggap terhormat karena mereka adalah Anda sendiri.
THE BOOK OF LIFE (13/02)
Menghadapi Kehidupan Secara Baru
Saya rasa, suatu hal yang kebanyakan dari kita senang menerima dan menganggap benar begitu saja adalah kepercayaan. Saya tidak menyerang kepercayaan. Yang kita coba lakukan ialah mengkaji mengapa kita menerima kepercayaan; dan jika kita dapat memahami motif, sebab-musabab dari penerimaan, maka mungkin kita bukan hanya dapat memahami mengapa kita melakukannya, tetapi juga bebas dari itu. Kita bisa melihat betapa kepercayaan politik dan religius, kepercayaan nasional dan jenis-jenis kepercayaan lain, justru memisahkan manusia, justru menciptakan konflik, kekacauan, dan antagonisme—ini fakta yang gamblang; namun tetap saja kita tidak mau melepaskannya. Ada kepercayaan Hindu, kepercayaan Kristen, kepercayaan Buddhis—kepercayaan nasional dan sektarian tak terhitung banyaknya, berbagai ideologi politik, semua bersaing satu sama lain, yang satu mencoba menarik yang lain masuk ke dalam golongannya. Kita dapat melihat dengan jelas, kepercayaan memisahkan manusia, menciptakan ketidaktoleranan; mungkinkah untuk hidup tanpa kepercayaan? Kita dapat menjawabnya hanya jika kita dapat mengkaji diri kita sendiri dalam berhubungan dengan suatu kepercayaan. Mungkinkah untuk hidup di dunia ini tanpa suatu kepercayaan—bukan mengubah kepercayaan, bukan mengganti suatu kepercayaan dengan kepercayaan lain, melainkan sama sekali bebas dari semua kepercayaan, sehingga kita menghadapi kehidupan ini secara baru dari menit ke menit? Bagaimana pun juga, inilah kebenarannya: yakni memiliki kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu secara baru, dari saat ke saat, tanpa reaksi dari masa lampau yang mengkondisikan, sehingga tidak ada efek kumulatif yang bertindak sebagai penghalang antara diri kita dengan apa adanya.
THE BOOK OF LIFE (14/02)
Kepercayaan Menghalangi Pemahaman Sejati
Jika kita tidak punya kepercayaan, apakah yang akan terjadi dengan kita? Bukankah kita sangat takut akan apa yang akan terjadi? Jika kita tidak mempunyai suatu pola tindakan berdasarkan suatu kepercayaan—baik kepercayaan pada Tuhan, atau pada komunisme, atau sosialisme, atau imperialisme, atau pada suatu rumusan religius tertentu, suatu dogma yang di dalamnya kita terkondisi—kita merasa sama sekali kehilangan arah, bukan? Dan bukankah menerima kepercayaan berarti menyelubungi ketakutan itu—ketakutan untuk berada sebagai bukan apa-apa sama sekali, untuk kosong sama sekali? Bagaimana pun juga, sebuah cangkir hanya bermanfaat kalau ia kosong; dan batin yang dipenuhi dengan kepercayaan, dengan dogma, dengan pernyataan, dengan kutipan, sesungguhnya adalah batin yang tidak kreatif; itu cuma batin yang mengulang-ulang. Untuk melarikan diri dari ketakutan itu—ketakutan akan kekosongan, ketakutan akan kesepian, ketakutan akan kemandekan, tidak sampai, tidak berhasil, tidak mencapai, tidak berada sebagai sesuatu, tidak menjadi sesuatu—sesungguhnya adalah salah satu alasan mengapa kita menerima kepercayaan dengan begitu berminat dan begitu rakus, bukan? Dan, dengan menerima kepercayaan, apakah kita memahami diri kita sendiri? Malah sebaliknya. Suatu kepercayaan, entah religius entah politis, jelas menghalangi pemahaman diri sendiri. Ia berperan sebagai tabir, yang melalui itu kita memandang diri kita sendiri. Dapatkah kita memandang diri sendiri tanpa kepercayaan? Jika kita membuang kepercayaan-kepercayaan ini, banyak kepercayaan yang kita miliki, masih adakah sesuatu untuk dipandang? Jika kita tidak mempunyai kepercayaan yang dengan itu batin melihat dirinya, maka batin—tanpa identifikasi—mampu memandang dirinya sendiri sebagai apa adanya—lalu, sesungguhnya terdapat awal dari pemahaman diri sendiri.
Selasa, 16 November 2010
Lebaran Terbelah, Blackberry, Bencana
Kalau biasanya khatib mengulas masalah kurban dengan jumlah pahala, hal itu sudah menjadi biasa. Sering kali kita mendengar bahwa pahala seseorang yang berkurban jumlah nantinya akan sebanyak bulu domba yang dia sembelih. Ada juga sebagian yang menyebut berkurban sebagai tameng diri kita di akhirat dari panasnya api neraka. Ceramah seperti ini, jujur saja sudah sering kita dengarkan.
Namun kali ini sang khatib hanya memberikan analog yang sederhana yaitu kurban dengan HP BlackBerry (BB). Saat ini menggunakan HP BB lagi ngetren dan seakan menambah nilai tersendiri dalam pergaulan. HP BB yang dikenal canggih ini, harganya ada yang di atas Rp 3 jutaan. Artinya, kalau masyarakat kelas teri, masyarakat gaptek, masyarakat yang tinggal di perkampungan tidak mungkin dapat membeli atau mempergunakan HP BB itu sendiri.
Bila dilihat dari daftar harga HP BB itu, sang khatib membandingkan dengan harga seekor kambing yang sudah layak untuk kurban di tahun ini. Bila merujuk harga HP BB dengan Rp 3 juta saja -di luar kewajiban membayar bulanannya- maka hal itu setara dengan 3 ekor kambing. Namun sayang, kata sang khatib tadi, mereka yang memiliki berbagai jenis HP mahal, canggih, ngetren, bergengsi dan dianggap gaul itu, justru kadang enggan untuk menyisihkan rezekinya untuk berkurban.
Pertanyaan kita adalah, seberapa banyak mereka yang memiliki kemewahan hidup, justru masih mikir-mikir untuk berkurban. Padahal dengan menyisakan sebagian rezeki kita untuk orang lain, merupakan kewajiban bagi umat manusia.
Kurban tidak hanya sebatas menyembelih kambing, sapi atau kerbau semata. Makna yang lebih jauh lagi, merupakan bentuk empati sesama umat. Tapi kadang, banyak hal-hal nyeleneh di negara kita ini. Di saat bangsa ini diterpa tsunami di Mentawai dan meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta, seakan pemerintah lambat dalam penanganannya.
Kita akan lebih geli lagi, ternyata sumbangan yang diberikan pemerintah terhadap korban tsunami dan Merapi masih jauh lebih banyak terkuras untuk klub sepakbola di bawah naungan PSSI itu. Saban tahun, ratusan miliar rupiah uang kita ini dihabisi klub sepakbola yang menetek dari dana APBD dan APBN. Sayangnya, PSSI sendiri tidak bisa menyediakan 11 orang dari 250 juta penduduk bangsa ini untuk ikut berkompetisi di Piala Dunia.
Nah, andai saja para pemimpin di negeri ini sadar akan arti kurban, tentulah mereka akan menyalurkan dana publik itu kepada rakyat kembali sesuai dengan kebutuhannya. Kita bukan membenci olahraga itu, tapi ya mbok sepatutnya urusan penderitaan rakyat didahulukan ketimbang gagah-gagahan di kandang sendiri. Andai saja kita manut akan isi khotbah soal kurban itu, mungkin penderitaan masyarakat korban tsunami dan Merapi akan bisa teratasi.
*) Chaidir Anwar
Namun kali ini sang khatib hanya memberikan analog yang sederhana yaitu kurban dengan HP BlackBerry (BB). Saat ini menggunakan HP BB lagi ngetren dan seakan menambah nilai tersendiri dalam pergaulan. HP BB yang dikenal canggih ini, harganya ada yang di atas Rp 3 jutaan. Artinya, kalau masyarakat kelas teri, masyarakat gaptek, masyarakat yang tinggal di perkampungan tidak mungkin dapat membeli atau mempergunakan HP BB itu sendiri.
Bila dilihat dari daftar harga HP BB itu, sang khatib membandingkan dengan harga seekor kambing yang sudah layak untuk kurban di tahun ini. Bila merujuk harga HP BB dengan Rp 3 juta saja -di luar kewajiban membayar bulanannya- maka hal itu setara dengan 3 ekor kambing. Namun sayang, kata sang khatib tadi, mereka yang memiliki berbagai jenis HP mahal, canggih, ngetren, bergengsi dan dianggap gaul itu, justru kadang enggan untuk menyisihkan rezekinya untuk berkurban.
Pertanyaan kita adalah, seberapa banyak mereka yang memiliki kemewahan hidup, justru masih mikir-mikir untuk berkurban. Padahal dengan menyisakan sebagian rezeki kita untuk orang lain, merupakan kewajiban bagi umat manusia.
Kurban tidak hanya sebatas menyembelih kambing, sapi atau kerbau semata. Makna yang lebih jauh lagi, merupakan bentuk empati sesama umat. Tapi kadang, banyak hal-hal nyeleneh di negara kita ini. Di saat bangsa ini diterpa tsunami di Mentawai dan meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta, seakan pemerintah lambat dalam penanganannya.
Kita akan lebih geli lagi, ternyata sumbangan yang diberikan pemerintah terhadap korban tsunami dan Merapi masih jauh lebih banyak terkuras untuk klub sepakbola di bawah naungan PSSI itu. Saban tahun, ratusan miliar rupiah uang kita ini dihabisi klub sepakbola yang menetek dari dana APBD dan APBN. Sayangnya, PSSI sendiri tidak bisa menyediakan 11 orang dari 250 juta penduduk bangsa ini untuk ikut berkompetisi di Piala Dunia.
Nah, andai saja para pemimpin di negeri ini sadar akan arti kurban, tentulah mereka akan menyalurkan dana publik itu kepada rakyat kembali sesuai dengan kebutuhannya. Kita bukan membenci olahraga itu, tapi ya mbok sepatutnya urusan penderitaan rakyat didahulukan ketimbang gagah-gagahan di kandang sendiri. Andai saja kita manut akan isi khotbah soal kurban itu, mungkin penderitaan masyarakat korban tsunami dan Merapi akan bisa teratasi.
*) Chaidir Anwar
Langganan:
Postingan (Atom)