Teguh Haryo Sasongko - detikNews
Masalah yang selalu mengemuka adalah minimnya perlindungan terhadap TKI yang mengakibatkan begitu mudahnya hak-hak asasi mereka dilanggar. Pemerintah dan agen penyalur TKI selalu menjadi kambing hitamnya. Sejauh ini mereka memang kambing hitam yang sesungguhnya, namun ada sesuatu yang nampaknya luput dari perhatian publik. Ada sesuatu yang jauh lebih besar dan esensial melatarbelakangi rentetan kejadian-kejadian serupa ini.
Kedudukan pembantu rumah tangga dalam struktur sosial selalu berada di bawah. Mereka dianggap orang dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah. Mereka juga sering dianggap orang yang 'tidak tahu apa-apa', awam, lugu. Pada situasi seperti ini secara alamiah akan terbentuk suatu hubungan majikan-pembantu yang tak ubahnya seperti tuan-budak di abad pertengahan. Jika ditelusur lebih dalam lagi, terdapat kemungkinan adanya norma-norma lokal tertentu yang memberi 'pembenaran' terhadap perilaku ini. Di Arab Saudi tidak jarang kita mendengar bahwa 'pembantu perempuan' sama dengan 'budak' di mana majikan laki-laki memiliki hak menyetubuhinya.
Seperti lazimnya hubungan tuan-budak, tidak ada sehelai pun batas perlakuan yang boleh maupun yang tidak boleh dilakukan seorang tuan kepada budaknya. Budak adalah barang di mana tuannya memiliki hak penuh atasnya. Jika premise ini ditarik dari skala individu tiap-tiap pembantu kepada skala komunitas pembantu dari Indonesia, maka akan nampak bahwa bahwa sesungguhnya gejala yang sama terjadi pada hampir semua, jika tidak dapat dikatakan semua, pembantu rumah tangga Indonesia yang bekerja di luar negeri. Pola hubungan tuan-budak tidak selalu berakhir pada kekerasan fisik.
Beberapa atau mungkin banyak di antara mereka diperlakukan sangat baik oleh tuannya. Diberi uang lebih, pakaian, fasilitas kesehatan, dan lain-lain. Perlakuan semacam ini tidak berarti mereka memiliki kedudukan sama dengan tuannya, sebab secara faktualnya kehidupan para budak (pembantu) itu 100% berada di tangan majikan (tuan)nya. Tidak ada daya sedikit pun dari mereka untuk secara leluasa melakukan apa yang mereka rasa ingin atau perlu mereka lakukan. Toh, pada abad pertengahan tidak jarang kita dengar kisah tuan-tuan yang begitu baik pada budak-budaknya.
Dengan demikian, bangsa ini sesungguhnya telah mengalami pelecehan atas kehormatan dan kedaulatannya. Para pembantu itu tidak dapat dipungkiri adalah representasi bangsa yang terbesar jumlahnya di luar negeri. Maka jelaslah, bahwa peristiwa-peristiwa 'kecil' penyiksaan TKI itu sesungguhnya adalah suatu penggalan drama saja dari keseluruhan cerita bahwa bangsa ini tidak memiliki nilai kehormatan di mata bangsa lain.
Situasi ini benar-benar diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah memberi perlindungan dan pembelaan pada para pembantu itu. Tidak mengherankan jika kemudian kasus-kasus kekerasan terus saja terjadi, sebab ketidakmampuan pemerintah ini memberi pesan yang jelas bahwa keseluruhan bangsa ini sebenarnya sudah takluk pada kekuatan majikan-majikan di luar negeri. Jika para pembantu itu adalah budak dari tiap2 majikannya, maka pemerintah Indonesia adalah budak dari pemerintah negara majikan-majikan itu. Menyedihkan sekali!
*) Teguh Haryo Sasongko, pengajar di Human Genome Center School of Medical Sciences University Sains Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ayo bergabung disini.... boleh berkomentar... asal sopan dan intelek, humoris, serta dapat menambah wawasan dan persaudaraan