Apa itu Kepemimpinan
Jenis Bahan Indo Lead: Buku
Kategori Bahan Indo Lead: Overview
September
2002
Pada suatu malam di tahun 1991, saya duduk bersama dua orang lain di
dekat sebuah lapangan parkir. Kami bertiga memiliki kesamaan.
Sama-sama kami menantikan sebuah rapat berakhir. Saya menjemput istri
yang sedang asik mengikuti rapat sedang kedua orang lainnya menantikan
seorang yang perlu diajak bicara malam itu juga.
Saya tidak mengira bahwa percakapan di tempat itu yang mulanya cuma
merupakan basa basi berakhir menjadi suatu gagasan yang kemudian
melahirkan gerakan pembinaan muda-mudi secara holistik. Saya juga tidak
mengira bahwa gerakan ini membuat saya terlibat aktif dan mengenal
banyak pemimpin dan calon pemimpin. Mereka merupakan manusia yang
menarik namun juga membuat saya terdorong meneliti bidang kepemimpinan
ini.
Salah seorang tokoh ini akan seterusnya saya sebut sebagai tokoh
nomor satu. Usianya sekitar 47 tahun. Ia memiliki lebih dari satu
gelar master. Namun di dalam berbagai pertemuan resmi, pada umumnya ia
duduk diam mendengarkan dengan sabar. Setelah puas menyimak dan
mengamati, barulah ia berbicara. Biasanya orang tertegun atas apa yang
ia sampaikan. Kemudian mereka mendukungnya dan beberapa saat kemudian
setelah pertemuan tadi, suatu tindakan nyata dilahirkan. Ia juga
menggerakkan banyak orang untuk mendukung upaya tadi. Namun seringkali
ia menyembunyikan kenyataan bahwa ialah pemicu seluruh proses yang ada.
Apakah rahasia atau dasar keberhasilannya? Kalau hal ini ditanya
padanya ia akan menjawab bahwa hal tadi terjadi karena kemurahan Tuhan.
Namun pengamatan lebih lanjut menunjukkan beberapa pola yang selalu ia
jalankan. Karena itulah ia berhasil menjalankan dengan baik perannya
sebagai pemimpin di berbagai lingkungan kerja, sebagai ibu, sebagai
istri dan sebagai sahabat. Semuanya sering dilakukan tanpa jabatan atau
status resmi, karena status resmi satu-satunya yang ia miliki adalah
seorang pengajar dan anggota dewan komisaris di sebuah perusahaan.
Apakah kepemimpinan itu? Bila kita masuk ke sebuah toko buku yang
besar di Jakarta atau Yogja, segera terlihat adanya puluhan buku tentang
kepemimpinan. Bila kita berupaya mendalami tiap buku, maka segera kita
akan terkejut karena ternyata di dalamnya terdapat ratusan pemahaman
tentang kepemimpinan. Dengan demikian, pertanyaan di atas bukanlah
pertanyaan yang sederhana dan mudah dijawab.
Menurut pengamatan, di satu pihak, ada banyak budaya yang
mengagungkan status pemimpin bahkan disitu seorang pemimpin diberikan
hak dan wewenang yang luar biasa besar. Misalnya, dianggap wajar bahwa
seorang pemimpin menolak mematuhi berbagai peraturan yang semua orang
ikuti. Dianggap wajar pula bila seorang pemimpin memiliki tingkat
kesejahteraan yang sangat luar biasa. Bahkan, dianggap wajar saja bila
seorang pemimpin tidak banyak bekerja, namun menerima pelayanan dan
dukungan moril serta materiel dari pengikutnya. Di pihak lain, ada
budaya dimana seorang pemimpin justru harus menjadi teladan dalam
kesederhanaan, pengabdian, pengurbanan diri, kepatuhan pada
peraturan-peraturan serta kebiasaan kerja keras. Tokoh pertama yang
saya paparkan di atas merupakan penganut budaya ini. Ia akan menjadi
risih bila menjadi jauh lebih sejahtera dari pendukungnya atau bila ia
melanggar berbagai aturan. Ia juga mengembangkan budaya dimana,
masyarakat menilai tinggi seorang pemimpin karena karya dan
pengabdiannya namun bukan karena statusnya semata-mata. Baginya, seorang
pemimpin sejati tidak bisa tidak harus merupakan seorang pemimpin yang
melayani.
Pada suatu hari sepulangnya dari Australia untuk mempresentasikan sebauh
paper tentang pola pikir, tokoh tadi memberikan sebuah buku kepada
saya. Di dalam buku itu ternyata tercantum bahwa bila melihat warisan
dari pusat-pusat peradaban dunia, istilah pemimpin sudah muncul sejak
5000 tahun sebelum Masehi, antara lain di Mesir. Di Cina, sekitar tahun
600 sebelum Masehi, orang juga sudah membahas masalah kepemimpinan. Di
budaya Barat, orang-orang Yunani juga meninggalkan berbagai pemahaman
mereka tentang kepemimpinan. Misalnya, Homer menuliskan pandangannya
mengenai kualitas pemimpin yang perlu dimiliki. Di jaman modern, sampai
pada tahun 2000 saja telah terbit lebih dari 2000 judul buku mengenai
kepemimpinan.
Tentulah hal tadi membuat saya bertanya, mengapa orang serius
membahas masalah ini. Jawabannya di dapat dari buku lain karangan Bass
yang terbit di tahun 90 an. Pertama, kepemimpinan merupakan suatu gejala
universal dalam hidup manusia bahkan pada hewan (Bass, 1990) Kedua,
berdasarkan pengamatan sederhana saja dapat kita temukan suatu kenyataan
bahwa tidak ada suatu masyarakat, gerakan, atau organisasi bahkan
kelompok kecil yang akan mencapai hasil tanpa adanya pemimpin.
Selanjutnya, dari pengamatan pribadi, saya yakin bahwa selama hidup
kita tidak pernah lepas dari pimpinan orang lain. Juga kita tidak pernah
terbebas dari kewajiban memimpin orang lain dan diri sendiri.
Akhirnya, saya juga mendapatkan kesimpulan setelah berkecimpung dalam
dunia pembinaan kader selama sepuluh tahun bahwa, di dunia ketiga
dirasakan kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, untuk membina dan
menyiapkan pemimpin yang mau melayani komunitasnya.
Ketika kemudian saya bertanya pada tokoh pertama di atas: Apakah
kepemimpinan itu? Ia menunjuk pada salah satu definisi yang sederhana
dan populer. Seorang pemimpin adalah seorang yang diikuti orang lain.
Ia juga merujuk pada suatu teori bahwa sadar atau tidak para pengikut
yang setialah memberikan seorang pemimpin yang mereka dukung itu
sejumlah hal seperti, wibawa, wewenang, dan hak istimewa (Jennings,
1944) Tanpa pemberian dari pengikutnya maka, seorang pemimpin akan
lumpuh. Dengan kata lain, bila seorang pemimpin sudah ditinggal para
pengikutnya, ia kehilangan hal-hal tadi. Tokoh pertama yang tadi saya
perkenalkan sangat menyadari hal ini dan tanggung jawab yang terkait
dengan pemberian dari orang banyak itu.
Hal ini lebih jelas lagi bila kita meneliti aspek selanjutnya dari
definisi tentang pemimpin yang saya dapati dalam sebuah buku yang
ditulis sebelum Perang Dunia kedua. Seorang pemimpin adalah seorang
yang dapat menciptakan situasi dimana para pengikutnya untuk setahap
demi setahap bergerak ke arah yang mereka sepakati bersama (Cowley,
1928).
Berdasarkan pandangan ini, maka jelaslah bahwa seorang pemimpin
diikuti orang karena visinya, misi yang dirumuskannya atau sasaran
kerjanya. Mereka percaya kepada kepemimpinannya karena apa yang mau
dicapainya bersama dengan para pengikutnya memang baik dan jelas.
Mereka memilih mengikutinya karena sang pemimpin mampu menggali apa yang
secara tidak sadar telah menjadi impian mereka. Hal inilah merupakan
faktor utama penentu keberhasilan seorang pemimpin. Bila mengamati
tokoh nomor satu kita tadi, ia mendapatkan pendukung-pendukung setia
karena seringkali ia mengungkapkan apa yang sebenarnya memang merupakan
cita-cita mereka tanpa mereka sadari. Para profesionhal, pendidik dan
psikolog sudah lama merasa tidak tenang melihat ketidak beresan di dunia
pendidikan, di dalam pengkaderan kepemimpinan dan hal yang terkait.
Mereka tidak tahu musti berbuat apa, namun ingin melakukan sesuatu dalam
batas kemampuan mereka. Ia merumuskan dengan lugas suatu visi yang
sebenarnya miliki mereka. Visi ini disampaikan dengan sederhana
sehingga orang memahaminya. Visi ini juga menggugah karena membuat
orang mampu memiliki gambaran mental yang jernih tentang apa yang mereka
idamkan di masa depan. Misalnya pada suatu jamuan makan ia
melemparkan kejutan: "Kita ada disini karena kita ingin menghasilkan
kader kepemimpinan yang nanti memberi pengaruh luhur dan nyata bagi
orang yang berbeda-beda di negara ini. Karenanya, adalah keliru bila
kita membina siswa-siswi di sekolah unggulan. Justru kita harus
membantu anak-anak yang kini sudah hidup sehari-hari di sekolah yang
siswanya datang dari berbagai latar belakang dan cukup jamak jenisnya.
Marilah kita kaderkan siswa-siswa di sekolah negari dan sekolah yang
bersiswa jamak." Tak sampai setahun kemudian, serangkaian pembinaan
bagi siswa-siswi di sekolah negeri mulai bergulir. Ia pun berhasil
menarik perhatian berbagai kalangan, terutama para ahli ilmu jiwa dan
pendidik serta profesional muda lain. Mereka mendukungnya habis-habisan
bergerak bersama menuju visi tadi yaitu menghasilkan calon pemimpin
yang nantinya mampu bekerja di masyarakat yang jamak. Bergerak bersama
artinya menentukan tahap kerja, membagikan persepsi dan ekspektasi dalam
kegiatan mereka, serta mencegah kemacetan serta kemunduran dalma
keadaan yang sulit dan meragukan sekalipun.
Bagaimana bila seseorang memiliki kuasa untuk memaksa orang bergerak
ke suatu arah yang ia tentukan karena ia memiliki kuasa senjata, kuasa
uang, kuasa peraturan atau kuasa-kuasa lain yang berlandaskan pada rasa
takut orang? Tidakkah ia tetap diikuti orang lain? Tidak salah.
Memang ada gejala serupa itu, namun sebenarnya kalau ia diikuti orang
banyak, sebenarnya mereka bukaan menerima ia sebagai pemimpin, tetapi
sebagai sipir penjara, tiran, atau pemaksa. Pada suatu hari, saya sudah
merasa tidak sabar dengan kecepatan gerakan muda-mudi yang ada dan saya
mengusulkan agar sang tokoh lebih memaksakan kehendaknya daripada
memproses pembicaraan sedemikan lama. Tokoh kita tadi hanya tersenyum
dan mengatakan: "Bila saya sebagai seorang pemimpin memaksakan visi
pribadi, maka mereka berhenti menjadi pengikut dan secara hakiki saya
sudah berhenti menjadi pemimpin. Merekapun bukan lagi menjadi pengikut,
namun sebagai kelompok atau sejumlah orang yang dimanfaatkan. Mereka
pun mengikuti karena mereka tidak melihat adanya pilihan lain, atau
mereka merasa masih dapat memanfaatkan saya. Jadi hubungan yang terjadi
adalah hubungan saling memanfaatkan tanpa loyalitas yang dalam."
Di dalam tulisan ini padangan tadi saya ambil alih. Jadi akan sangat
ditekankan paham kepemimpinan sebagai suatu daya untuk menggerakkan
orang menuju suatu tujuan atau impian tertentu. Namun secara nyata,
memang seseorang yang dapat menggerakkan orang menuju suatu tujuan tanpa
ia merupakan seorang pemimpin sejati, tapi merupakan hanya seorang
provokator bahkan manipulator. Karena itu ada hal kedua yang perlu
ditekankan. Selain menimbulkan gerak seorang pemimpin juga merupakan
orang yang mampu menghasilkan suatu perubahan atau transformasi pada
mereka yang dipimpinnya, dirinya sendiri dan sistem atau komunitas
dimana mereka berada. Dengan demikian kita mengenal seorang sebagai
pemimpin sejati atau bukan dari hadir atau absennya kedua faktor tadi
(The Movement and Transforming Leader) sebagai prasyarat.
Menurut tokoh nomor satu kita, dalam pengamdiannya sebagai pemimpin
ia mencurahkan waktu yang cukup banyak untuk membina pendukungnya,
menolong mereka mengenali potensi mereka, menolong mereka mengenali
kekhasan diri mereka, dan visi pribadi mereka. Dalam sebuah buku
kepemimpinan dari Hagai Institute apa yang tokoh nomor satu kita lakukan
disebut sebagai proses mengubah orang melalui cara: enoble, enable,
empower dan sebagainya. Artinya sang tokoh membuat orang mengenali
dimensi yang luhur dari dirinya, membuat mereka jadi mampu memimpin dan
meraih, serta membuat mereka memiliki kesempatan untuk menerapkan apa
yang mereka miliki. Menurut pengamatan saya selama sepuuh tahun
terakhir ini, sang tokoh sendiripun mengalami transformasi. Ia semakin
lebih tegas dan berani dalam mengambil resiko, ia lebih banyak
merenungkan makna perannya, dan ia menyadari bahwa kepemimpinannya perlu
dibantu oleh lebih banyak pihak yang mungkin berbeda dari dirinya. Hal
yang tetap tidak berubah adalah keberpihakannya menolong orang-orang
yanhg terlantar.
Dengan demikian, seperti telah diungkap sebelumnya, pertama-tama seorang
pemimpin akan dikenal dari kemampuannya merumuskan visi yang menjadi
impian bersama dari komunitas di mana ia berada. Ketajaman, keutuhan
dan kesederhanaan visi ini akan membuatnya menjadi kuat.
Kedua, karena adanya suatu gerak merupakan tanda adanya kepemimpinan,
maka seorang pemimpin yang sejati mencurahkan waktu, skill, dan
tenaganya untuk urusan ini. Hal-hal lain adalah penyokong untuk
melahirkan gerak ini. Kualitas kepemimpinannya terlihat dari gerak maju
yang ia hasilkan bersama komunitasnya. Dengan demikian seorang
pemimpin yang hanya menciptakan suasana mandeg, stabil atau status quo
pada dasarnya sudah tidak lagi menjadi pemimpin sejati yang diinginkan.
ketiga, seorang pemimpin dapat dikenali dari adanya transformasi
individual dan sistemik yang terjadi. Artinya ialah bahwa tiap
individu termasuk diri sang pemimpin terus mengalami perubahan dimana
potensi-potensi mereka terus bertumbuh sementara keseluruhan organisasi
atau komunitas mereka ikut berubah.
Apakah penyebab dari lahirnya gerak maju dan transformasi? Selain
visi yang jelas, transformasi dan gerak maju yang sinambung dan kuat
menuju apa yang dikehendaki akan terjadi bila para orang menaruh percaya
kepada pemimpinnya. Tokoh nomor satu sangat dipercaya oleh
pendukung-pendukungnya. Ratusan orang bersedia melakukan berbagai hal
besar bersamanya. Ia dipercaya karena banyak hal yang ia miliki. Tanpa
kepercayaan ini pemimpin yang memiliki visi yang tajam, pandai,
berpengalaman, memiliki relasi yang luas, atau menguasai berbagai
sumber, tetap tak dapat menggerakkan orang. Dengan demikian, tugas
seorang yang memimpin adalah menciptakan atau melahirkan kepercayaan
dari mereka yang dipimpinnya. Hal ini berlaku bagi entah seorang
pemimpin toko pakaian atau seorang kepala sekolah dasar. Sewajarnya ia
berupaya agar kepercayaan orang padanya tercipta melalui visinya,
kinerjanya, kesungguhan sikapnya, serta upaya belajarnya dan berbagai
hal lainnya. Bagaimana cara menghasilkan kepercayaan ini selain dengan
merumuskan visi yang tajam? Pasal selanjutnya akan khusus membahas hal
ini. Namun sementara ini masih banyak hal tentang kepemimpinan yang
masih perlu di bahas.
Mitos tentang Pemimpin
Sebelum membahas mengenai bagaimana memperoleh kepercayaan orang,
perlu dibahas terlebih dulu pemahaman-pemahaman yang keliru tentang
kepemimpinan seperti yang tercermin di dalma berbagai mitos. Sepanjang
pemahaman tentang kepemiminan berubah-ubah, timbul berbagai mitos
tentang kepemimpinan. Pertama-tama adalah anggapan bahwa setiap orang
dapat menjadi seorang pemimpin. Tokoh kita di dalam awal tulisan ini
pernah mengungkapkan bahwa memang menjadi pemimpin bukanlah untuk tiap
orang. Ada faktor internal diri seseorang yang dapat menyebabkan ia
tidak akan menjadi pemimpin. Dorongan diri yang tidak cukup untuk
menjadi pemimpin, skil memimpin yang tidak memadai, atau pengenalan diri
serta sikap yang tidak otentik jelas akan merintangi orang menjadi
pemimpin. Selanjutnya, situasi atau lingkungan dimana ia berada juga
dapat mencegah atau membatasinya untuk mencapai posisi kepemimpinan.
Seorang yang hidup terlalu nyaman, misalnya sulit untuk menerima resiko
dan beban kepemimpinan yang seringkali memang berat. Seorang yang
tumbuh di tengah orang-orang yang membencinya juga sulit menjadi
pemimpin.
Mitos kedua adalah bahwa pemimpin memberikan hasil yang diinginkan.
Untuk situasi tertentu seringkali nyatanya keberadaan seorang manajer
yang baik sudah cukup mungkin untuk organisasinya mencapai hasil atau
sasaran bersama tanpa perlunya kehadiran seorang yang merupakan
pemimpin. Sebaliknya sebuah organisasi atau kelompok yang dipimpin
dengan baik belum tentu mencapai hasil yang baik apa lagi dalam waktu
pendek. Tokoh kita mengungkapkan dalam suatu percakapan "Walaupun tidak
menghasilkan sesuatu yang spektakuler dan diakui, pengabdian sebagai
pemimpin tidak boleh redup. Seorang yang bernama Nuh bekerja berpuluh
tahun dan hasilnya hanya untuk diri, keluarganya serta sejumlah
binatang. Akhirnya toh, hasil sekecil itu sudah cukup untuk memulai
suatu dunia yang baru." Hal serupa ditekuni juga oleh Abraham Lincoln.
Perbudakan yang konon dihapus di masanya, secara masih muncul dalma
bentuk diskriminasi sampai tahun 60 an. Jadi hasil nyata seringkali
butuh satu atau dua generasi untuk dikenali dan sementara itu sang
pemimpin harus tetap berakar pada keyakinannya.
Mitos ketiga adalah bahwa orang yang mencapai posisi puncak adalah
seorang pemimpin. Padahal, selama ia tidak memiliki pengikut yang
sesungguhnya ia bukanlah seorang pemimpin. Sebaliknya bila jabatannya
rendah namun ia memiliki pengikut-pengikut yang setia, maka ia adalah
seorang pemimpin yang sebenarnya. Seorang pemimpin sejati akan meraih
kepercayaan orang sehingga akan muncul pengikut walaupun ia tidak
memiliki status ketika kepercayaan tadi diberikan. Sejarah mencatat
sejumlah raja, kaisar atau pangeran yang jelas berada di dalam posisi
puncak namun tidak menghasilkan visi, gerak atau transformasi apapun.
Mitos keempat adalah bahwa seorang pemimpin yang baik adalah seorang
pelatih atau coach yang baik. Nyatanya, dua fungsi tadi memang sangat
diinginkan muncul berbareng. Namun nyatanya merupakan dua fungsi yang
jarang tergabung dalam diri seorang manusia seperti ibu Kartini.
Seringkali pemimpin yang baik diterima karena visinya dan bukan karena
ketelatenannya membimbing orang lain.
Mitos-mitos tambahan tentang kepemimpinan lain ialah
- Satu-satunya kualitas pemimpin yang dibutuhkan adalah kharisma
- Pemimpin tidak pernah salah
- Kepemimpinan harus selalu konsisten
- Pemimpin harus selalu tahu sebelumnya tujuan apa yang mau dicapai
- Lebih tegang memimpin daripada mengikuti
- Pemimpin harus selalu dapat mengerjakan pekerjaan anak buah
- Pemimpin dalam satu situasi juga harus mampu memimpin dalam
situasi-situasi lainnya
- Kepemimpinan adalah kesempatan yang hanya diberikan pada mereka yang
mendapatkan dukungan dari "pihak atas"
- Pengikut tidak mau dimanipulasi
- Kepemimpinan adalah yang terjadi secara kebetulan karena
keberhasilan atau kegagalan kelompok ditentukan oleh faktor-faktor yang
berada di luar kelompok
- Pemimpin adalah mahluk yang berbahaya
Menurut tokoh nomor satu kita, mitos-mitos di atas muncul dan berkembang
karena seringkali tanpa disadari orang menerima kerangka pikir
feudalisme. Feudalisme adalah suatu pemahaman yang menganggap bahwa
manusia dapat dibedakan menurut tingkatan-tingkatan tertentu. Ada pola
feudalis yang menganggap bahwa manusia yang berdarah biru atau bangsawan
merupakan manusia unggulan. Ada juga pemikiran feudalis yang
menganggap bahwa manusia yang memiliki pendidikan yang tinggi dianggap
lebih unggul dari orang kebanyakan. Tidak kurang juga pemikiran yang
membedakan manusia menurut kekayaan, kuasa, atau keperkasaannya. Lebih
dari sekedar membeda-bedakan manusia, pemikiran feudalis juga mendorong
perilaku tertentu untuk muncul dan berkembang di dalam hubungan antar
manusia. Dalam pemikiran feudal, maka seorang yang dianggap unggul
serta merta dianggap sebagai pemimpin, dan karenanya ia berhak untuk
diperlakukan berbeda dari orang kebanyakan secara hakiki. Artinya, ia
boleh mengabaiakn aturan-aturan dan hukum-hukum karena posisinya sebagai
pemimpin. Ia juga diperbolehkan melanggar aturan-aturan kemanusiaan
yang terlarang bagi orang lain. Misalnya, di abad pertengahan para
feodal dapat seenaknya melakukan pembunuhan atau penganiayaan terhadap
mereka yang membuatnya tersinggung. Cerita Robin Hood merupakan suatu
contoh suasana hidup di jaman feudal itu.
Lebih dari pada hal tadi, seringkali seorang feudal tidak dapat
menjalin hubungan dengan feudal lainnnya tanpa diserta kepentingan dan
upaya saling memanfaatkan. Kolonialisme tidak akan hidup tanpa
mengokohkan feudalisme. Pola seperti ini terus hidup bahkan setelah
abad pertengahan berlalu. Menurut tokoh kita, di jaman modern feudalisme
pun muncul di perusahaan, di LSM atau di dunia pendidikan. Para
pemimpin lebih perduli dan memperhatikan kepentingan diri dan wibawa
diri daripada kepentingan rakyat banyak atau pendukungnya. Mereka tidak
menganggap para pengikut sebagai orang-orang yang harus dilayani, namun
sebagai sumber kekuasaan, kepuasan, wibawa, dan penghasilan mereka.
Buat apa memperhatikan mereka terlalu jauh karena mereka tidak memiliki
status atau esensi setinggi mereka, begitulah pola pikir feudal ini.
Di milenium ke tiga, seharusnya orang semakin kritis dengan roh
feudalisme. Namun di Asia, terasa bahwa roh feudalisme masih melambari
hidup para pemimpin, entah pemimpin di lingkup terbatas, seperti kepala
divisi suatu organisasi, atau pemimpin suatu komunitas yang terdiri dari
jutaan orang. Ketersinggungan, berbagai tuntutan kenyamanan, dan
ketidak mampuan melakukan sinergi dengan berbagai kalangan atau kalangan
sendiripun merupakan wujud dari feudalisme modern. Berbagai mitos
muncul dari paham feudalis ini seperti telah didaftarkan di atas.
Mendasari semuanya ini adalah suatu paham bahwa manusia tertentu
dianggap lebih unggul dan lebih layak untuk berperilaku sebebas yang
mereka inginkan. Lawan dari paham ini adalah pemimpin yang melayani,
yaitu justru karena keunggulannya, mereka harus menjadi teladan, lebih
menahan diri, dan lebih rela mengabdi serta menunjukkan pengurbanan bagi
komunitasnya. Namun sebelum tiba pada kerangka pikir serupa itu, kita
perlu mengenali bagaimana orang modern dalam seratus tahun terakhir
membuat pergeseran-pergeseran kecil dalam kerangka pikir tentang
kepemimpinan.
Evolusi Sejarah Pemahaman Modern tentang Kepemimpinan
Bila kita membaca buku sejarah terlihatlah bahwa pemahaman tentang
kepemimpinan bergeser dari satu masa ke masa lainnya di abad yang lalu.
Pada masa ini pemahaman tentang cara memimpin yang baik sangat
dipengaruhi oleh teori kontigensi. Artinya adalah bahwa untuk suatu
situasi atau dinamika tertentu dibutuhkan suatu cara memimpin yang cocok
dengannya. Karena itu seorang pemimpin harus memiliki kemampuan
membaca situasi atau dinamika yang ada serta memberikan respon berupa
kepemimpinan yang tepat untuk situasi serupa itu.
Sebelum periode itu orang memahami bahwa seorang pemimpin harus
memiliki suatu gaya tertentu yang perlu dikembangkannya agar ia
berhasil. Teori gaya kepemimpinan ini terutama mulai sejak tahun
1940an. Orang mulai mengenali gaya-gaya yang ada. Selanjutnya
ditekankan pentingnya gaya kepemimpinan yang mewujudkan iklim
demokratis, terbuka, dan berdasar "merit". Tanpa disadari teori ini
diwarnai oleh budaya Amerika yang memang egalitarian.
Mendahului periode teori gaya kepemimpinan, orang menekankan
pentingnya seorang pemimpin memiliki karakter atau trait kepemimpinan.
Ahli-ahli meneliti karakter-karakter pemimpin yang dan berusaha membuat
daftar karakter yang cocok untuk dimiliki tiap. Namun studi ini
lama-kelamaan ditinggalkan orang karena tidak berhasil memberikan
kesimpulan yang masuk akal. Mungkin pula pemikiran ini didasarkan oleh
suatu pemikiran feudalis. Saya pun pernah menganggap bahwa seorang
menjadi pemimpin karena hal ini. Tokoh kita dalam tulisan ini merupakan
contoh manusia yang berkarakter kepemimpinan. Ia tahan uji, sabar,
tegas, tulus, dan menjunjung nilai-nilai pengabdian yang tinggi. Namun
ternyata di dalam komunitas tertentu kepemimpinannya tidak diterima,
terutama di tempat dimana mayoritas adalah orang-orang yang pragmatis
dan materialistis.
Pemimpin Yang Melayani
Di dunia Timur orang sering beranggapan bahwa seorang pemimpin
haruslah menjadi orang dihormati dan dilayani oleh para pengikutnya.
Tanpa hak-hak serupa itu, maka seorang pemimpin dirasakan tidak akan
dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Semakin otoriter dan
berwibawa, atau semakin misterius seorang pemimpin, semakin orang
merasakan kepemimpinnya.
Berbeda dari pemahaman tentang seorang pemimpin serupa itu adalah
paradigma kepemimpinan yang melayani. Bila seorang pemimpin adalah
seorang yang menggerakkan dan mentransformasi, maka pemimpin yang
melayani adalah seorang yang menggerakkan dan mentransformasi orang
secara khas.
Seorang pemimpin yang melayani hanya dapat melakukan hal itu bila ia
menghayati makna peran sebagai orang yang melayani. Seorang yang
melayani tidak melakukan hal itu karena ia ingin menebus dosa atau
kesalahannya di masa lalu. Ia juga bukan melakukan hal itu agar orang
merasa iba padanya. Pemimpin yang melayani melakukan hal itu karena ia
ingin dengan melayani orang-orang, ia membuka kesempatan agar
orang-orang di sekitarnya memiliki kebebasan lebih luas untuk berkembang
atau mengalami transformasi. Dengan bahasa sederhana ia dapat menjadi
pemimpin yang melayani bila, memiliki hati yang melayani. Seringkali ia
melakukan hal ini karena ia pernah merasakan dilayani seseorang,
mengalami pemulihan karena ditolong seorang pemimpin, mengembangkan visi
yang tajam karena dialog dengan seorang pemimpin dan sebagainya.
Seorang pemimpin yang melayani adalah seorang pemimpin yang sangat
perduli atas pertumbuhan dan dinamika kehidupan pengikut, dirinya dan
komunitasnya dan karenanya ia mendahulukan hal-hal tadi daripada
pencapaian ambisi pribadi atau pola dan kesukaan pribadinya saja.
Ada beberapa ciri pemimpin yang melayani:
- Pemimpin yang melayani memberikan teladan-teladan untuk perilaku
dan sikap yang ia ingin hadir dan menjadi bagian utama dari hidup
pengikutnya. Jadi ia tidak memaksa orang untuk mengambil alih suatu
perilaku atau memaksa dengan berbagai aturan hal-hal yang ia inginkan.
Ia memberikan ilham melalui demonstrasi model, pemberian teladan dan
penentuan batas-batas perilaku dengan melaksanakannya sendiri.
- Pemimpin yang melayani sering bekerja dalam kerangka pikir waktu
yang panjang. Ia tidak mengharapkan hasil spektakuler terlalu cepat
karena ia menyadari bahwa untuk menggerakkan dan mentransformasi orang
diperlukan waktu yang panjang dan proses yang sinambung.
- Pemimpin yang melayani melakukan komunikasi yang bersifat dua
arah. Ia bahkan tidak berkebaratan bila pendukungnya berbicara satu
sama lain tanpa melibatkannya.
- Pemimpin yang melayani juga dapat hidup di tengah kepelbagaian
pendapat, bahkan ia merasa tidak nyaman bila pendapat, paradigma, dan
gaya kerja hanyalah sejenis saja
- Pemimpin yang melayani memberikan kepercayaan dan wewenang pada
pengikutnya. Ia memiliki gambaran positif dan optimis tentang mereka.
Ia memberdayakan mereka melalui sharing pengetahuan, skil dan
perspektif.
- Pemimpin yang melayani menggunakan persuasi dan logika untuk
mempengaruhi orang selain peneladanan.
- Pemimpin yang melayani tidak berupaya menjadi pahlawan, namun
menciptakan dan melahirkan pahlawan-pahlawan.
- Pemimpin yang melayani mengerjakan banyak hal dan juga menghindar
dari berbagai hal yang orang lain dapat lakukan.
Hal yang perlu dicatat disini adalah bahwa pemimpin yang melayani
tidak berarti akan menghindar dari masalah atau konflik. Ia tidak juga
menjadi sosok yang dikendalikan oleh berbagai kelompok yang kuat.
Beberapa kali tokoh nomor satu kita berbenturan dengan orang-orang yang
berkuasa, para anggota yayasan dan birokrat-birokrat yang berpandangan
sempit. Pernah juga ia mengalami fitnah yang menyakitkannya.
Dalam pekerjaan sehari-hari seorang pemimpin yang melayani
mendahulukan orang lain. Tokoh nomor satu kita pernah berkemah bersama
13 orang di sebuah gunung. Ternyata salah seorang peserta terlupa
membawa kantung tidurnya. Sang tokoh menggelengkan kepala ketika ia
menyadari hal itu. Namun segera ia memberikan kantung tidaurnya
sementara ia sendiri meringkuk di sudut salah satu tenda dan menahan
dingin semalam suntuk. Dengan perbuatan-perbuatan kecil serupa itu, ia
membuat orang jadi terinspirasi, terdorong, belajar, dan mengambil alih
teladannya. Pendekatannya bukanlah pendekatan kuasa tapi pendekatan
hubungan atau relasional.
Bagaimana secara nyata pemimpin yang melayani mengambil keputusan?
Pertama, ia mencari data atau informasi dengan bertanya, meneliti,
serta menyimak berbagai hal.
Kedua, ia mengembangkan intuisi dan melihat apa yang tidak kasat mata
Ketiga, ia memimpin orang dengan persuasi namun tidak memaksakan
kehendaknya
Keempat, ia memberikan kejelasan visi bersama yang akan dicapai, dan
langka perubahan yang diperlukan.
Kelima, memberdayakan orang-orang di sekitarnya melalui berbagai
kesempatan.
Bagaimana Mengukur Keberhasilan seorang pemimpin
"Apa yang jadi tolok ukur mu dalam menentukan keberhasilan memimpin?"
tanya saya pada beberapa pemimpin. Jawabnya ternyata beragam. Di
dalam budaya timur seorang pemimpin dinilai berhasil bila ia mencapai
suatu tingkat kearifan dan wibawa yang tinggi di tengah masyarakat di
mana ia berada. Jadi, orientasinya adalah pada pertumbuhan kebijak
sanaan diri atau internal. Di dalam budaya barat, seorang pemimpin
dinilai berhasil berdasarkan prestasinya dan sumbangsihnya di tengah
masyarakatnya. Dengan demikian maka orientasinya adalah eksternal. Dalam
kerangka pikir pemimpin yang melayani, maka masalah ini sangat perlu
dibahas agar jelas tolok ukur yang dapat dipakai untuk menilai karya
seorang pemimpin.
Terlepas mana yang lebih tepat di dalam mengukur keberhasilan seorang
pemimpin, keberhasilan tadi akan bersifat sangat terbatas dalam suatu
kurun waktu tertentu bila seorang pemimpin tidak berhasil melahirkan
pemimpin-pemimpin baru untuk melanjutkan kerjanya. Secara umum wibawa
yang dimiliki seorang pemimpin atau prestasinya tidak akan berumur lama
bila ia gagal secara sengaja menyiapkan pemimpin baru. Dengan gamblang
tokoh nomor satu kita mengatakan bahwa keberhasilan seorang pemimpin
tidak dinilai berdasarkan berapa banyak pengikutnya saja, berapa arifnya
dirinya, atau berapa hebat prestasinya saja, namun dari
kualitas-kualitas pemimpin baru yang dilahirkannya.
Pemimpin baru tadi tidak harus sama dengan cara kerja dan pola
dirinya. Sangat keliru bila seorang pemimpin bekerja keras untuk
melatih dan membina calon pemimpin baru agar orang ini memiliki pola
kerja, gaya, dan paradigma yang sama dengan dirinya. Seorang pemimpin
yang matang akan menyadari bahwa pola atau gaya dan paradigmanya memang
baik untuk masa dimana ia melayani, namun untuk masa depan maka corak
lingkungan kerja, dinamika organisasinya serta komunitasnya akan berbeda
sehingga diperlukan suatu pendekatan, pola dan gaya kepemimpinan yang
baru.
Dengan demikian seorang pemimpin yang berhasil adalah seorang yang
juga memiliki suatu kesadaran mengenai life cycle atau daur hidup
komunitas yang dipimpinnya. Ada masa lahir, ada masa pertumbuhan, ada
masa puncak dan ada masa penurunan serta uzur. Untuk tiap masa
diperlukan pemimpin yang coraknya berbeda-beda. Justru kematangan
seorang pemimpin akan terlihat dalam kesediaanya menerima fakta bahwa
orang yang dipersiapkannya mungkin bahkan akan menentangnya, mengritik
kebijakannya, dan mengubah banyak hal.
Jadi bagaimana kemudian kita mengukur keberhasilan seorang pemimpin?
Pertama, dilihat dari bagaimana visinya tercapai atau gagal. Kedua,
dilihat dari bagaimana pengikut serta dirinya sendiri mengalami
transformasi atau perubahan dalam proses berderap bersama. Kualitas
tranformasi itu akan memperlihatkan bagaimana ia berhasil atau gagal.
Ketiga, keberhasilan dapat dilihat dari hubungan kerja ia bangun seiring
dengan siklus hadir-tumbuh-puncak- dan menurun dari organisasinya.
Keempat, keberhasilan dilihat dari bagaimana ia menjadi seorang pemimpin
yang baik dan sekaligus seorang pengelola yang baik.
Jenis-jenis pemimpin
Sebelum melanjutkan pembahasan mengenai kepemimpinan, perlu
dijelaskan, apakah memang hanya ada satu jenis pemimpin di dalam suatu
masyarakat, komunitas atau suatu organisasi? Dalam kasus tokoh nomor
satu di atas, apakah ia merupakan pemimpin yang dapat jadi teladan di
dalam semua urusan?
Bila diteliti secara sederhana, ternyata ada berbagai jenis pemimpin.
Ada orang-orang yang jelas memiliki status pemimpin dan berada dalam
jajaran puncak suatu organisasi. Namun, ada pula pemimpin-pemimpin yang
lain dan yang tidak formal. Bagaimana cara kita memahami kehadiran dan
peran mereka?
Salah satu cara memahami jenis-jenis pemimpin adalah dengan mencatat
bahwa sekurangnya terdapat tiga jenis pemimpin yaitu
Pemimpin Lini lokal
Pemimpin network,
dan pemimpin eksekutif.
Pemimpin lini lokal adalah mereka yang menangani urusan operasional
harian atau mereka yang bertanggung jawab dan memiliki wewenang untuk
menangani perubahan pada tingkat lokal. Mereka dapat berupa
plant-manajer atau pemimpin tim pengembangan produk baru. Mereka juga
dapat merupakan seorang kepala pool kendaraan, kepala tukang parkir,
staf cleaning service, para kuli pacul, dan sebagainya. Tidak ada suatu
komunitas atau organisasi berjalan efektif dan efisien tanpa dukungan
pemimpin lini lokal ini.
Pemimpin network adalah mitra dari pemimpin lini lokal. Walaupun
seorang pemimpin lini lokal bekerja dengan entusias dan serius, sistem
kerja mereka membuat mereka tidak memiliki kontak yang cukup dengan
divisi, bagian atau departmen lain. Mereka seakan terkurung di dalam
detil pekerjaan mereka dan kesibukan mereka cukup menyita waktu dan
perhatian mereka. Pemimpin networklah yang menolong mengaitkan suatu
informasi, hubungan, dan kerja antar berbagai fungsi dan status di
organisasi. Kekuatan mereka terletak pada kemampuan menembus batas
birokrasi, departmen atau kelompok-kelompok masyarakat serta seluruh
kecenderungan untuk bersikap tertutup. Mereka berfungsi sebagai pembawa
berbagai benih. Namun karena mereka merupakan pemimpin informal, posisi
mereka sulit diidentifikasi padahal pengaruh mereka dalam proses
perjalanan komunitas atau organisasinya menuju visi yang mau diraih
sangat penting. Tokoh pertama kita adalah tokoh pemimpin network.
Pemimpin eksekutif adalah satu langkah lebih luas dalam tugasnya di
organisasi atau masyarakat. Mereka memiliki tanggung jawab untuk
menghasilkan kinerja yang baik secara umum, namun mereka harus bekerja
melalui tangan dan pengaruh orang lain, khususnya bawahan mereka.
Perubahan-perubahan di masa kini membuat mereka menyadari bahwa mereka
perlu untuk memiliki paradigma baru kepemimpinan. Mereka belajar
mengenali bahwa bawahan mereka atau pengikut mereka adalah mitra kerja,
atau bila tidak maka mereka menjadi tirani-tirani kecil dan jadi
terpencil.
Beda dan kesamaan Pemimpin dan Manajer
Seringkali orang tidak membedakan antara pemimpin dan manajer.
Seorang manajer adalah seorang yang mengelola sesuatu, entah manusia,
waktu, mesin, dana atau informasi serta network. Jadi ukuran
keberhasilan seorang manajer adalah seberapa baiknya ia mengelola apa
yang dipercayakan kepadanya. Semakin rapih, teratur, dan indah apa yang
ditanganinya semakin dianggap baik dirinya. Bagi seorang manajer, ia
harus melakukan apa yang ditanganinya dengan benar.
Seorang pemimpin adalah seorang yang melakukan sesuatu demi
organisasi, kelompok, atau komunitasnya. Ia diukur berdasarkan gerak
apa yang dihasilkannya bersama mereka yang mengikutinya atau yang
terkait dengannya. Ia juga diukur dengan transformasi yang
dilakukannya, serta adanya kelanjutan dari pekerjaannya. Seorang
pemimpin tidak harus selalu rapih, teratur, atau indah dalam proses
memimpin organisasinya. Namun yang terpenting adalah bahwa ia melakukan
hal-hal yang benar untuk kepentingan bersama.
Jadi seorang manajer adalah orang yang melakukan hal yang
dipercayakannya dengan benar, sedangkan seorang pemimpin melakukan hal
yang benar. (Managers do things right while leaders do the right
thing).
Ringkasan tentang beda manajer dan pemimpin dapat digambarkan sebagai
berikut:
Pemimpin | | Manajer |
Hubungan berdasarkan pengaruh
Memberikan arah dalam tindakan, sikap
Melibatkan visi dan penilaian
melibatkan hal-hal yang lebih rutin
People who do the right thing
|
|
Hubungan berdasarkan otoritas
Menghasilkan sesuatu
Menyelesaikan,
People who do things right
|
Jadi manajer lebih bersifat mekanistis (orientasi semata-mata pada
memenuhi suatu ukuran keberhasilan yang ditetapkan baginya) dan
menekankan pada pengendalian kerja bawahan. Dibandingkan dengan manajer,
pemimpin memiliki kepekaan terhadap arah, kerja sama kelompok,
inspirasi, teladan dan penerimaan diri oleh orang lain.
Dalam kenyataan, seringkali dituntut bahwa seorang pemimpin harus
juga menjadi seorang manajer. Tentunya, yang diharapkan adalah
didapatkan seorang pemimpin yang baik dan sekaligus berfungsi menjadi
manajer yang baik.
Seorang pemimpin yang baik, namun merupakan manajer yang buruk perlu
dilengkapi oleh seorang manajer yang baik di dalam teamnya. Sebaliknya
seorang pimpinan yang buruk namun memiliki kemampuan manajerial yang
baik belum tentu diikuti oleh orang lain di organisasinya.
Beberapa fungsi manajerial yang bertumpang tindih dengan fungsi
kepemimpinan
- Perencanaan meliputi mencari semua informasi yang
tersedia/dibutuhkan, merumuskan tugas, maksud dan tujuan kelompok,
menyusun rencana yang dapat dikerjakan.
- Mengatur meliputi memberi penjelasan mengapa rencana itu perlu,
menetapkan standar kelompok, memformulasikan metode yang efektif untuk
menyelesaikan tugas, mengorganisasikan orang, material, waktu dan sumber
sehingga sasaran dapat dicapai.
- Mencari orang-orang yang cocok untuk tugas tertentu termasuk
mengalokasikan tugas dan sumber kepada mereka sedemikian rupa, sehingga
setiap orang tahu apa yang diharapkan darinya dan memahami makna dari
kontribusi yang ia lakukan.
- Memberi pengarahan meliputi menjelaskan tugas dan rencana dari awal
supaya memastikan tercapainya sasaran.
- Menuangkan dalam jadwal dan membuat pembagian tugas untuk memastikan
tindakan tang diambil sesuai dengan sasaran.
- Mengawasi meliputi pengawasan terhadap kerja bawahan untuk menjaga
agar segalanya berjalan sesuai dengan rencana, termasuk kemungkinan
mengantisipasi masalah atau mengatasi masalah dengan cepat.
- Mengevaluasi yaitu melakukan penilaian terhadap pelaksanaan kerja
kelompok, membantu kelompok mengevaluasi pelaksanaan kerjanya sendiri,
dan menyatakan pendapat tentang apa yang sudah dikerjakan.
Kepemimpinan Transformatif atau transaksional?
Cara lain memehami mengenai jenis pemimpin adalah dengan
membandingkan pemimpin transformatif dan pemimpin yang transaksional.
Seorang pemimpin, apalagi yang dikenal dengan pemimpin formal sebagai
lawan dari pemimpin informal dapat terjebak untuk menjadi pemimpin
transaksional. Pemimpin transaksional memperlakukan orang-orang yang
dipimpinnya, atasannya, serta dirinya sebagai pemain-pemain dalam suatu
proses perdagangan. Keputusan yang diambilnya merupakan keputusan yang
menguntungkan baginya dalam hubungan dirinya dengan berbagai pihak.
Masalah benar atau salahnya keputusan tadi tidak jadi perhatian
utamanya, namun masalah untung atau ruginya terutama bagi kepentingannya
sering menjadi dasar pertimbangannya. Kepemimpinan serupa ini tidak
membuat organisasinya atau pihak-pihak yang terkait dengannya berkembang
apalagi orang-orang yang dipimpinnya. Kecenderungannya ialah
memanfaatkan berbagai pihak bagi dirinya.
Lawan dari kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan
transformasional. Esensi kepemimpinan serupa ini adalah menghasilkan
perubahan dimana dirinya dan mereka yang terkait dengannya sama-sama
mengalami perubahan ke arah yang lebih luas, tinggi, dan mendalam. Kata
kunci dari segenap keputusan adalah berapa jauh sebanyak mungkin pihak
mengalami pertumbuhan.
Di dalam suatu organisasi yang bersifat nir laba, semestinya
kepemimpinan yang ditumbuhkan adalah kepemimpinan transformatif. Namun,
karena seringnya terjadi pemimpin dipilih bukan berdasarkan
track-record atau riwayat kinerjanya, melainkan berdasarkan konsensus
sosial, maka pemimpin-pemimpin formal seringkali bukan merupakan orang
yang bermodalkan karakter, kompetensi dan komitmen yang tinggi.
Akibatnya, maka mereka berusaha mati-matian untuk bertahan pada
kedudukan mereka. Apalagi bila kedudukan tadi tidak memiliki alur karir
yang melanjutkannya.
Transaksional | | Transformational |
Bekerja dalam situasi
Menerima keterbatasan
Menerima peraturan dan nilai yang ada
Timbal balik dan tawar menawar
|
|
Mengubah situasi
Mengubah apa yang biasa dilakukan
Bicara tentang tujuan yang luhur
Memiliki acuan nilai kebebasan, keadilan dan kesamaan
|
Pemimpin yang transformational membuat bawahan melihat bahwa tujuan
yang mau dicapai lebih dari sekedar kepentingan pribadinya.
Penutup
Kepemimpinan memang merupakan suatu hal yang sangat kaya dalam
aspeknya. Apa yang dipahami saat ini memang masih terbatas, namun masih
terus bertambah dan bertumbuh karena orang merasakan kepentingannya.
Perbandingan secara konseptual dan praktika tentang kepemimpinan di
budaya Timur dan Barat juga merupakan suatu bidang yang perlu diteliti
dan masih belum dipahami secara utuh. Konon tokoh pertama kita dalam
tulisan ini sedang melakukan studi pula dalam bidang ini. Namun sejauh
ini, kerangka pikir tentang kepemimpinan yang melayani dapat dianggap
sebagai sesuatu yang merupakan konsep yang utuh dan bermanfaat di masa
kini.