Setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Kartini merupakan potret pejuang gerakan emansipasi sejati, demi peradaban bangsa yang ramah perempuan. Namun demikian, Kartini sejatinya bukan pejuang emansipasi semata, tetapi pada saat yang sama ia juga pejuang gerakan reformasi pemikiran.
Betapa tidak, ketika teknologi informasi hanya berupa buku, majalah, kertas dan alat tulis, Kartini yang masih sangat muda mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan hanya melalui surat-menyurat dari tempat tinggalnya di tanah Jawa. Dengan kegelisahannya yang memilukan ia bergulat mencoba keluar dari pikiran dan tradisi feodal di sekitarnya. Potret ini tentu sebuah loncatan baru bagi Kartini agar masyarakat mampu menjadi kelas-kelas educated (terdidik).
Upaya reformasi peradaban itu dilakukan Kartini dengan cara yang cerdas. Kartini yang tidak bisa bersekolah formal dengan cerdik melakukan otodidak yang sekarang lebih populer dengan sebutan "home schooling" melalui surat-menyurat yang ia lakukan dengan banyak orang.
Berkat iklannya di sebuah terbitan berkala di Belanda, "Hollandsche Lelie", Kartini mendapat sambutan luar biasa untuk berkorespodensi dengan para intelektual, guru, feminist, humanist, tokoh politik, pejabat pemerintah Belanda, anggota parlemen Belanda dan lain-lain.
Kartini yang fasih berbahasa Belanda menurut Pramoedya Ananta Toer di dalam buku "Panggil Aku Kartini Saja" adalah "pemikir Indonesia modern pertama yang menjadi pemula sejarah Indonesia modern sekaligus". Saat itu belum ada Bung Karno dan Hatta dengan tulisan-tulisan atau pidato-pidatonya, tetapi Kartini sudah menyebut "nasionalisme" dengan kata "kesetiakawanan".
Idealisme itu disusunnya dengan kalimat seperti ini: "Rasa setiakawan memang tiada terdapat pada masyarakat Inlander, dan sebaliknya yang demikianlah justru yang harus disemaikan, karena tanpa dia kemajuan rakyat seluruhnya tidak mungkin."
Kartini wafat saat usianya terbilang muda. Hidupnya yang dipingit menjadikan ia korban ketidaksetaraan gender, Kartini memang menjadi bagian dari praktek poligami dan feodalisme.
Namun Kartini adalah pejuang pemikiran modern pertama dan menjadi inspirator bagi pemikir lainnya. Kartini sebagai perempuan dan sebagai orang yang teramat muda memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengamati persoalan jamannya.
Hal itu ditandai dengan adanya tulisan dalam bentuk surat menyurat dengan masyarakat di Eropa yang awalnya Kartini menyangka masyarakat modern.
Namun Kartini yang cerdas dan peka mencoba berontak dengan menggambarkan situasi itu dalam satu suratnya di tahun 1899 bahwa ia yang putri seorang bupati menampik dipanggil Raden Ajeng. "Panggil Aku Kartini saja—itulah namaku!" ternyata kolonialisme di zaman Kartini dan kegelapannya tak pernah surut dan terus berjaya hingga 100 tahun lebih di jaman ini.
Di masyarakat kita, perempuan masih dianggap "ratu" dalam rumah tangga, sehingga seluruh persoalan yang ada di dalam rumah tangga harus menjadi tanggung jawab perempuan. Dengan demikian, waktu perempuan lebih banyak tersita untuk mengurus dapur dan anak.
Hal ini tentu berimplikasi terhadap berkurangnya aktivitas perempuan dalam kegiatan masyarakat.
Bahkan, ini menguatkan anggapan di masyarakat bahwa perempuan memang pantas berada di rumah, karena perempuan adalah makhluk yang lemah yang tak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan di luar rumah, tidak memiliki kesanggupan untuk berpikir dan berefleksi, serta memiliki kepribadian yang lebih pasif.
Kondisi semacam ini semakin lama semakin mengakar di masyarakat, dan membuat perempuan semakin terkurung, bahkan secara tidak sadar, menikmatinya. Misalnya, beberapa perempuan desa, ketika mereka diajak atau diundang dalam rembug warga, mereka hanya menjawab singkat, "Sudah ada bapaknya yang ikut rapat
" Dengan demikian, maka pemecahan masalah, termasuk masalah kemiskinan yang menyangkut perempuan, akan sulit dibicarakan bersama dengan perempuan, karena mereka tidak terlibat atau tidak mau melibatkan diri.
Selanjutnya, pemberian kesempatan kepada perempuan untuk menjalankan tanggungjawab sosialnya sebagai manusia tentunya juga semakin berkurang.
Sehingga, potensi besar yang dimiliki oleh perempuan sangat tidak berarti untuk digunakan, baik untuk sektor domestik maupun sektor publik.
Dengan demikian, kontribusi perempuan dalam setiap kegiatan tak dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Menuju Peradaban Millenium
Di tingkat dunia, Sekretaris Genderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pidato di New York, 28 Februari tahun 2005, saat pembukaan sesi Commission on the Status of Women menandai 10 tahun setelah Konferensi Beijing menyatakan, meskipun 10 tahun setelah Konferensi Beijing meletakkan rangkaian program aksi untuk mempercepat kesetaraan bagi perempuan, tetapi masih diperlukan aksi terfokus untuk memotong situasi masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi tertinggal.
Tujuh program aksi prioritas yang terdapat dalam Millenium Project Task Force in Education and Gender Equality itu adalah memperkuat akses anak perempuan untuk mendapat pendidikan dasar sembilan tahun, menjamin hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual perempuan, membangun infrastruktur untuk mengurangi beban kerja perempuan dan anak perempuan, menjamin hak waris dan hak kepemilikan properti perempuan dan anak perempuan, menjamin tak ada diskriminasi terhadap perempuan dalam pekerjaan, menjamin keterwakilan perempuan di parlemen dan pemerintah daerah, serta meningkatkan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.
Tujuh program aksi di atas yang bertujuan mencapai kesetaraan gender sejalan dengan Tujuan Pembangunan Milenia (Millenium Development Goals/ MDGs), terutama adalah pada tujuan ketiga hingga keenam.
Tujuan ketiga hingga keenam MDGs adalah mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan, menurunkan angka kematian anak, memperbaiki kesehatan ibu, dan memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lain.
Pemerintah Indonesia telah memberi komitmennya untuk ikut di dalam MDGs yang bertujuan antara lain pada tahun 2015, tinggal 7 tahun dari sekarang menurunkan juga angka kematian ibu yang menurut WHO dapat dicegah dengan memberi akses ibu hamil pada pelayanan kesehatan antara lain pada bidan atau tenaga kesehatan terlatih yang mampu mendeteksi bila ada kelainan pada kehamilan sedini mungkin.
Akses informasi dan layanan kesehatan pada masa kehamilan juga menjadi cara untuk mencegah penularan HIV/AIDS dan penyakit seksual lain pada perempuan. Bukan rahasia bahwa perempuan rentan terhadap penularan HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya dari para suami atau pasangannya karena nilai-nilai di masyarakat menempatkan perempuan sebagai pihak yang melayani laki-laki.
Potret relasi yang subordinate ini mengakibatkan perempuan selalu lemah dan dilemahkan oleh mainstrem (cara berpikir) yang maskulin (kelaki-lakian), sehingga dalam kasus HIV/AIDS kaum perempuan selalu mendapat getahnya.
(disaring dari Harian Waspada)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ayo bergabung disini.... boleh berkomentar... asal sopan dan intelek, humoris, serta dapat menambah wawasan dan persaudaraan