Jumat, 05 November 2010

Pers Indonesia yang Terkekang oleh Pemerintahan Otoriter

Pers Indonesia yang Terkekang oleh Pemerintahan Otoriter
Oleh: Herman Lilo
Pers di bawah Kendali Kekuasaan Otoriter
Pers Indonesia di zaman Pemerintahan Soekarno, mengalami fluktuasi yang menyedihkan. Pers perjuangan yang pernah menjadi penyuluh patriotisme  bangsa akhirnya berada di hutan belantara pemerintahan otoriter. Fluktuasi kehidupan pers Indonesia di bawah payung kekuasaan Soekarno, setidaknya mengalami 3 fase. Fase pertama adalah dimulai sejak proklamasi di tahun 1945 sampai tahun 1950. Fase kedua adalah pada saat pemerintahan RIS Tahun 1950 dan Pemerintahan Kabinet Parlementer Tahun 1950 – 1957, dan Fase ketiga merupakan fase paling pahit bagi kehidupan pers di Indonesia, yakni fase kekuasaan otoriter yang dimulai pada tahun 1950 sampai 1957.
Fase otoriter dimulai pada tanggal 14 Maret 1957 Presiden Soekarno mengumumkan Negara Dalam Keadaan Bahaya (SOB) yang berlaku bagi seluruh Indonesia, sehubungan dengan pemberontakan PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi. Pada bulan Juli 1957 Soekarno mengumumkan Kabinet Juanda dan menetapkan Manipol Usdek sebagai Haluan Negara. Sistem pemerintahan yang demokratis yang dikatakan Soekarno sebagai Pemerintahan Demokrasi Terpimpin”, ternyata telah menempatkan Soekarno sebagai pemimpin yang otoriter.
Kedudukan serta fungsi pers diarahkan penguasa untuk mencapai tujuan politik Demokrasi Terpimpin dan suara-suara pers yang bernada melawan harus dibungkam. Berbagai batasan dilakukan penguasa terhadap kemerde­kaan pers termasuk diantaranya melakukan sensor atas infromasi ke luar negeri. Jack Russel, koresponden United Press dikecam penguasa, karena United Press mengkritik Sukarno sebagai pimpinan otoriter yang semakin dekat dengan Komunis. Selama tahun 1957, terjadi peningkatan yang signifikan terhadap tindakan anti pers oleh penguasa; yang secara keseluruhan mencapai 125 kali tindakan pembatasan kebebasan pers.
Pada tahun 1958 Penguasa Perang Daerah Djakarta (Peperada) mengeluarkan ketentuan bahwa seluruh penerbitan surat kabar dan majalah wajib mendaftarkan diri sebelum 1 Oktober 1958 untuk memperoleh SIT (Surat Izin Terbit). Tanggal 1 Oktober 1858, dapat dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan pers di Indonesia. Walaupun surat kabar dapat terbit, akan tetapi harus mengikuti kehendak penguasa, dan setiap saat SIT dapat dicabut tanpa alasan hukum yang jelas. “Sejak 1 Oktober 1958, sejarah pers Indonesia memasuki periode hitam”, demikian Muchtar Lubis sebagaimana dikutip Smith[1].
Hal serupa diikuti oleh Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), bahwa seluruh penerbitan suratkabar dan majalah di seluruh Indonesia wajib memiliki SIT. Pada tahun 1960, secara resmi Menpen melegalisasikan ketentuan tentang SIT ini dan untuk mendapatkan SIT, semua penerbitan harus menanda tangani persetujuan atas 19 pasal pernyataan. Pernyataan tersebut adalah janji penanggung jawab penerbit surat kabar dan majalah yang berupa ancaman seandainya mereka diberi SIT. “Hal ini dilakukan oleh penguasa untuk mempercepat retooling alat-alat publikasi, terutama surat kabar dan majalah, sehingga ia dapat menjadi alat dan pendukung revolusi”[2].
Janji penerbit ini selanjutnya merupakan senjata bagi penguasa dalam melakukan pembredelan pers yang tidak sepaham dengan kekuasaan.  Beberapa suratkabar yang dicabut SIT-nya oleh Menpen sebagai konsekuensi dari ‘janji’ tersebut, antara lain: Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos Indonesia, Star Weekly. Sedangkan Harian Abadi menghentikan penerbitannya karena tidak bersedia menandatangani 19 persyaratan tersebut.
Dalam melakukan pembatasan terhadap kebebasan pers, ketentuan demi ketentuan dikeluarkan  penguasa. Salah satunya adalah ketentuan dari Menpen yang mewajibkan surat kabar di seluruh Indonesia berafiliasi dengan parpol atau ormas. Menurut ketentuan ini, masing-masing parpol atau ormas hanya dibenarkan memiliki satu organ resmi, dan surat kabar atau majalah lainnya harus berafiliasi kepada parpol atau ormas tersebut. Saat itu tidak kurang 80 surat kabar di Indonesia yang dimiliki oleh sembilan parpol, ormas dan Panca Tunggal (pemerintah).
Selanjutnya, Deppen mengeluarkan lagi ketentuan baru, yaitu bahwa setiap surat kabar atau majalah harus didukung oleh satu parpol atau tiga ormas. Hal ini berarti bahwa masyarakat tidak dapat lagi menerbitkan surat kabar apabila tidak ada partai politik atau ormas yang mendukung. Yang lebih penting disini adalah bahwa telah terjadi pengingkaran terhadap pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara sebagaimana Dekrit 5 Juli 1959.  
Hari-hari atau tahun-tahun selanjutnya merupakan lembaran hitam bagi kebebasan pers Indonesia. Kedekatan Soekarno dengan Komunis telah menyebabkan tidak hanya pemerintah yang melakukan kontrol terhadap pers, akan tetapi tidak jarang orang-orang Komunis melakukan teror terhadap wartawan. Ancaman fisik yang dilakukan oleh orang-orang yang mengatasnamakan presiden Soekarno semakin memperburuk kehidupan pers pada saat itu. Bahkan pada saat itu hanya pers yang berbau PKI yang bisa hidup nyaman.
Politik dalam negeri semakin jauh dari demokrasi, dan Soekarno semakin sering menunjukkan sikap yang tidak senang terhadap pers. Salah satu tajuk harian Cina ‘Keug’ sebagaimana dikemukakan Smith menggambarkan hal itu sebagai berikut: “Cara orang-orang PKI datang dan pergi ke Istana telah menarik perhatian umum, begitu rupa sehingga timbul kesan bahwa Bung Karno sekarang lebih dekat pada PKI daripada dengan PNI yang kadang-kadang dikecamnya karena aliran kapitalis-liberalis yang tampak di dalamnya”[3].
Pristiwa Gerakan 30 September 1965, adalah puncak dari kekejaman PKI yang juga harus dikatakan akhir dari keangkuhan PKI. Terjadinya penculikan Jendral Angkatan Darat oleh PKI sontak menimbulkan kegoncangan pemerintahan Soekarno. Mahasiswa dan masyarakat serentak melakukan aksi yang menghendaki dibubarkannya PKI. Tuntutan mahasiswa Indonesia yang serentak itu terkenal dengan istilah Tritura. Isi dari Tritura adalah tuntutan mahasiswa dan rakyat melalui demonstrasi massa dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tri Tura), yaitu (1) Bubarkan PKI, (2) Turunkan harga, dan (3) Bubarkan Kabinet 100 Menteri (bentukan Soekarno),
Angkatan Darat yang sangat dirugikan oleh pemberontakan Komunis, melakukan berbagai perlawanan terhadap rezim Soekarno. Opini Publik yang dibuat oleh angkatan Darat cukup berpengaruh pada saat itu karena menggunakan pers sebagai media propaganda. Angkatan darat menerbitkan Koran “Berita Yudha” sebagai media kritik terhadap PKI. Kemudian, mahasiswa menerbitkan Harian KAMI dalam memobilisir gerakan mereka yang terkenal dengan “Gerakan Ganyang PKI”. Sementara itu, Subandrio sebagai salah seorang yang berpengaruh dalam kabinet 100 menteri bentukan Sukarno, memahami betul betapa ampuhnya media massa dalam membentuk opini. Karena pada akhir 1966 ia memerintahkan sepasukan Cakrabirawa ke beberapa kantor percetakan surat kabar di Jakarta  dan melarang surat kabar tersebut dicetak.



[1] Smith, Edwar C.,1986, Sejarah Pembredeilan Pers Di Indonesia, (terjemahan),Jakarta, Pustaka Grafitti: 178.
[2] Simanjuntak, Togi, 1995, (Editor), WartwaanTerpasung – IntervensiNegara di Tubuh PWI, Institute Studi Arus Informasi, Jakarta: 22
[3] Smith, Edwar C.,1986, Sejarah Pembredeilan Pers Di Indonesia, (terjemahan),Jakarta, Pustaka Grafitti:: 144

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayo bergabung disini.... boleh berkomentar... asal sopan dan intelek, humoris, serta dapat menambah wawasan dan persaudaraan