Bensin tinggal satu strip, tapi saya terus menginjak pedal gas tanpa berkurang, kendati pom bensin sudah di depan mata.
"Kok tidak mampir, kamu tahu resikonya kan?“ tanya Angela.
"Ya, didenda 300 swiss Frank (setara Rp 2,5 jutaan) kalau mogok di jalan tol karena kehabisan bensin,“ kataku pelan.
"Dan aku juga tak mau bantu dorong,“ katanya.
Saya memintanya melihat peta, dimana pom bensin berikutnya berada. Maklum, meski mobil baru, kami belum sanggup membeli navigasi satelit, GPS. Jadi untuk melihat keberadaan pom bensin berikutnya, saya mengandalkan manusia Swiss, yang biasanya pintar membaca peta manual.
"20 kilometer lagi,“ katanya, sambil menunjuk titik merah, tanda pom bensin berikutnya.
"Kukira cukup, meski tinggal setengah strip," gumamku, setengah gengsi, separuh khawatir. Dua setengah jutaan, denda itu, selain bukan uang yang sedikit, juga mesti menahan malu: mogok kok disengaja.
Ketika strip bensin makin menipis, disertai lampu merah berkedip-kedip, Citroen Picasso ini menemukan pom bensinnya. Kami bertatapan, kami merasa sebuah kemenangan. Angela lega karena tak harus mendorong mobil ini. Saya pun selamat dari kerkahan denda yang tak perlu.
“Kamu isi penuh ya, “ katanya, seraya bergegas ke toilet, ritual rutin kaum perempuan.
Saya pilih bensin bleifrei, sejenis premium super, dan mencolokkan selang hitam berkepala hijau itu ke lubang kecil di samping kanan belakang Citroen Picasso yang berlepotan debu. Nyaris 60 literan ditelan mobil ini. “Kenyang kau sudah ya,” kataku sambil menutup kunci dan bergegas membayar bensin itu di kasir.
Ketika saya kembali dari kasir, istriku sudah berada di dalam mobil sedang mengutak-atik handphonenya. "Kita jemput anak-anak di Goldau jam tiga,“ katanya. Hannah dan Tizian, dua permata kami, diungsikan ke neneknya di Arth Goldau, Swiss Tengah, sementara kami membelah sepertiga Perancis, selama sepekan. Liburan yang menentramkan karena kami bisa tidur lelap, bangun pagi kesiangan, dan makan tanpa gangguan. Sebuah ritus yang sejak lima tahun ini menjadi kemewahan bagi mereka yang memutuskan beranak-pinak di Swiss.
Di jalan tol menuju Arth Goldau, tiba-tiba Angela menyalak, ”Mengapa kamu begitu riskan sampai bensinnya nyaris kering?"
Tidakkah itu konyol, jika kita mogok di jalan akhirnya ribet dengan polisi juga bantuan mobil derek," imbuhnya.
"Aku bosan dipanggil Mansyur,“ kataku.
"Mansshhuurr....apa itu Manshhurrr,“ katanya.
Kisah "Mansyur" bermula ketika kami mulai perjalanan ini, dari Lucerne, Swiss Tengah, menuju Lyon, Perancis Selatan. Sejak masuk Yverdon Les Bain, Swiss Barat, namaku seenaknya diganti Mansyur. Di sebuah resto take away, si jelita berwajah tirus memanggilku Mansyur ketika saya memesan makanan.
“Pardon, parlez vous anglais?" (Maaf, bisa berbahasa Inggris)
“Non, Monsieur,” (Tidak, Mister)
“Allemania?” (Jerman)
“Pardon, non, Monsieur” (Tidak juga, Mister)
“Okay, well, this…that… this.. and cola. Merci”
Bahasa "tarzan" itu menyelesaikan segalanya, ditambahi senyum tertahan kami berdua. Setelah dua, tiga, hingga kali “monsieur”, masih biasa. Tapi setelah berkali-kali, akhirnya saya memilih menghindari kontak dengan penduduk setempat. No More Mansyur!
Begitu pula ketika meninggalkan Fribourg, sebuah Propinsi Swiss Perancis terakhir sebelum masih Swiss Jerman, khususnya Bern. Saat itu bensin sudah nyaris kering. Saya memilih membeli bensin di Swiss Jerman, yang tentunya berharap akan dilayani dalam bahasa Jerman. Jalan menuju pom bensin itu juga sudah ditulis Ausfahrt (Exit), bukan Sortie. Setelah sepekan terus dijajah dalam bahasa "tawon", inilah harapan saya. Akhirnya, saya kembali disapa dalam bahasa Jerman.
"Bagaimana, menggunakan bahasa Jerman kan?“ tanya Angela.
"Masih Mansyur, masih saja Mansyur!“
Swiss, mengenal empat bahasa resmi dan tiga bahasa nasional. Di Swiss Tengah dan Utara, digunakan bahasa Jerman, Swiss Barat menerapkan bahasa Perancis, sementara Swiss Selatan menggunakan bahasa Italia. Swiss Tenggara, meski kini nyaris punah, mempercakapkan bahasa Retho Roman yang mirip bahasa Latin. Antara Fribourg dan Bern, penduduknya berbahasa dua, Jerman dan Perancis. Ketika saya berhenti di perbatasan itu, rupanya kulit coklat ini, dianggap keturunan Vietnam yang dulunya pernah dikangkangi Perancis. Dan kembalilah saya menjadi Mansyur, meskipun nyaris kehabisan bensin.
“Aku rugi mengisi penuh mobil ini, harusnya secukupnya sampai Bern saja,” gerutuku.
Bagi turis, termasuk yang dari Swiss, Perancis sebenarnya menawan. Bagian selatan memiliki pantai nan indah juga iklim agak hangat daripada pegunungan Alpen. Makanannya juga lebih beragam dibandingkan Swiss, yang ratusan tahun menutup diri dari dunia luar. Tapi yang tak bisa berbahasa Perancis, siap-siaplah bernama Mansyur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ayo bergabung disini.... boleh berkomentar... asal sopan dan intelek, humoris, serta dapat menambah wawasan dan persaudaraan