:Tanggal 21 Juni, tahun 1994, pemerintahan Presiden Soeharto membredel majalah Tempo, Editor dan tabloid Detik. Peristiwa ini menjadi bagian dari sejarah kelam pers Indonesia. Kendali kekuasaan sangat berkuasa atas media di era otoriter orba.
Ada banyak kuli tinta kehilangan mata pencaharian karena kebijakan sepihak dari rezim orba saat itu. Termasuk loper yg menggantungkan hidup untuk biaya keluarga atau biaya kuliah bagi mahasiswa. Oya, pada era media konvensional itu, kebanyakan agen maupun loper koran dan majalah adalah mahasiswa.
Protes pun muncul dari seluruh Indonesia setelah pristiwa kelam pembredelan itu, utamanya mahasiswa dan unsur pers. Saya ingat saat itu di Makassar, protes disampaikan langsung di kantor DPRD Provinsi SulSel. Dan saya ingat betul kami naik motor dengan dosen komunikasi, bapak (Alm) Mansyur Semma, juga seorang maba bernama Andi Yani, menuju jl. Urip Soemoharjo. Disana Deng Ical (sekarang wawali kota Makassar) sudah menunggu dengan beberapa demonstran.
Tidak hanya membredel kebebasan media, tetapi penguasa orba mengawasi ketat setiap konten media. Pisau sensor senantiasa bersiap memotong setiap konten yang menyentuh penguasa. Sebagai misal adalah informasi majalah Tempo terkait pembelian tank dari Jerman yg diduga ada mark up untuk Cendana dan kroninya. Saat itu juga Tempo diberangus.
.
Demikian pula beberapa terbitan atau koran yang dianggap koran hitam tidak boleh diedarkan bebas. Misalnya koran terbitan AJI (Aliansi Jurnalistik Independen). Namun aktivis mahasiswa saat itu tidak kehabisan akal, buku atau koran yang dilarang itu tetap bisa didapatkan dengan cara melalui jasa pengiriman seperti pos.
.
Intinya, musuh utama kebebasan pers diera Soeharto adalah penguasa itu sendiri.
.
Setelah Soeharto lengser oleh gerakan reformasi pada tanggal 21 Mei 1998, lantas digantikan oleh BJ.Habibie. Pak Habibie langsung mencabut segala regulasi yg mengungkung kebebasan pers. Dewan pers menjadi lembaga independen yg tidak lagi dicampuri oleh pemerintah. Kebebasan pers tertuang dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Kebijakan nenyensor dihilangkan seperti tertuang dalam pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat (2) bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, (3) bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat (4) bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.
.
Zaman terus berubah. Perkembangan teknologi media menikmati alam kemerdekaanya dari rezim kekuasaan. Perkembangan media regional dan lokal tumbuh bak cendawan di musim hujan. Terlebih dengan munculnya portal media online yang membuat informasi semakin tidak terbendung. Akhirnya kita hanya bisa memilah postur media mainstream dan media sosial.
.
Namun lagi-lagi ancaman terhadap kebebasan pers bermunculan. Kenyataannya sekarang ini ancaman media tidak lagi dari kekuasaan melainkan dari sekelompok khalayak dan ormas. Sudah banyak pristiwa penggerudukan kantor media dan pers oleh sekelompok ormas ketika merasa dirugikan oleh informasi media yang bersangkutan. Padahal ada ruang hak jawab yang disiapkan untuk publik jika merasa dirugikan oleh informasi. Kekerasan dan pelecehan terhadap profesi jurnalis masih sering terjadi. Bahkan dari pimpinan sebuah Parpol juga mengeluarkan surat resmi pemboikotan sebuah media televisi. Miris, tentunya.
.
Kerap kali kita membaca di media sosial protes karena ada sebuah pristiwa yang tidak diliput media. Misalnya aksi ormas tertentu yang tidak diliput media, demo tenaga honorer yang tidak diliput media, serta ada aksi reuni yang 'katanya' tidak diliput oleh media mainstream.
.
Rupanya ada sekelompok orang yang tidak mau tahu tentang agenda setting. Padahal Walter Lippman (1965), Cohen (1963) atau Maxwell Mcnewcomb dan Donald Shaw telah menuntaskan teori ini secara akademik. Ungkapan populernya: "we judge as important what the media judge as important.” Maknanya adalah bahwa tidak semua isu yang dianggap penting oleh kita, dianggap penting pula oleh media massa.
.
Seorang capres dengan lantang mengutuk wartawan dan jurnalis yg tidak meliput kegiatan reuni. Ini model otoritarian yang mencoba mengintervensi kebijakan redaksi. Soal agenda setting maupun news value adalah pertimbangan jurnalistik yang merupakan otonomi media tentunya. Menyalahkan jurnalis bukanlah hal yang bijak sebab dalam perusahaan media ada gatekeeper yang sama-sama menentukan pemuatan sebuah berita. Disitu ada pemimpin redaksi, redaktur, editorial dan jurnalis itu sendiri. Mereka inilah satu kesatuan yang sangat menentukan arah media massa dalam menyaring berita, artikel, tulisan yang akan disiarkan, setiap pristiwa atau isu diberi bobot tertentu dalam ruang surat kabar atau waktu televisi dan radio, framing dan frekuensi penyiarannya.
.
Pendeknya, siapa pun harus tahu bahwa "Berita tidak bisa memilih dirinya sendiri untuk menjadi berita". News doesn’t select itself.
.
25 tahun pemberedelan majalah tempo, tabloid detik dan editor, semoga tidak terjadi lagi dalam bentuk yang lain. Berikan kebebasan kepada pers untuk meliput sebuah pristiwa sebagaimana kita juga memberinya kebebasan untuk tidak meliput. Sangat berharap.
...
Salam
#Lahabe_Note