Jakarta akhirnya memilih. Banyak lembaga survey yang kemudian terkejut dengan hasil yang berbeda dari apa yang selama ini dimuculkan. Jokowi –Ahok akhirnya menjadi ‘Penantang Berat’ melawan kandidat Petahana Fauzi Bowo- Nachrowi. Dimana hasil quick count Indobarometer dan LSI kedua-duanya menyatakan kemungkinan akan berlangsungnya Putaran Kedua.
Apa yang sebenarnya terjadi didalam perilaku politik pemilih Ibu Kota Negara tersebut ? Mengapa Jokowi –Ahok bisa menjadi pilihan bagi representasi ikon perlawanan dibandingkan empat kandidat non incumbent lainya?
Dua hal ini menjadi menarik untuk dilihat sebagai sebuah fenomena prilaku politik para pemilih dalam menjatuhkan pilihanya yang tidak saja merepresentasikan Jakarta, namun menurut hipotesis saya juga merepresentasikan keadaan Pilkada langsung diberbagai daerah.
Badai 10 % (sepuluh persen) bagi incumbent
Ada satu variabel yang saya curigai dalam setiap pemilukada dan ini sudah terbukti dari beberapa riset yang saya lakukan. Termasuk dalam peristiwa Pilkada DKI Jakarta. Hal tersebut adalah terjadinya penurunan signifikan bagi kandidat incumbent pada satu bulan terakhir yang angkanya berkisar 10 % ke bawah, dalam pilkada kota palu misalnya sebulan sebelum pilkada hasil survei yang di rilis oleh IDEC (indonesia development engineering consultant) dengan margin eror sebesar 2 % menempatkan pasangan Rusdy Mastura dengan presentasi kemenangan sebesar 42 %. Hasilnya pasangan Rusdy Mastura-Mulhanan tombolotutu hanya memperoleh 32 % ( tiga puluh dua persen) pada hari pemilihan 2010.
Demikian pula pada saat pilkada Gubernur Sulawesi tengah dimana Gubernur Incumbent dan wakil Gubernur Incumbent maju secara terpisah di dua pekan terakhir masing-masing kandidat tersebut justru mengalami penurunan dibawah 5% (lihat hasil survey IDEC)
Tak jauh berbeda dengan pemilukada Walikota Kota Palu dan Propinsi Sulawesi Tengah tersebut, dalam Pilkada DKI dimana LSI melansir Survei yang dilakukan sejak 22-27 Juni 2012, mematok angka kemenangan Foke 43,7 persen, dengan margin of error survei 4,8 persen. Hasilnya dari quick count sementara Fauzi Bowo- Nachrowi memperoleh suara sebesar 34,7 %.
Belajar dari ketiga kasus diatas, hipotesis saya menyangkut badai 10 % menjadi semakin kuat. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi.
Pertama, hasil survey yang dirilis oleh lembaga survey dalam waktu terlalu dekat dengan masa pemilihan akan membuat seluruh elemen tim lainya kemudian bergerak untuk mengoptimalkan ketertinggalan mereka atas incumbent atau mereka yang diprediksikan memiliki jumlah suara tertinggi.
Kedua, pada umumnya mereka yang menyatakan menjatuhkan pilihan politiknya kepada kandidat incumbent sebesar 10 % akan mengalami ‘kegamangan pilihan’ dari berbagai terpaan informasi atau model kampanye yang dilakukan oleh para penantang. Melihat fenomena ini, sudah seharusnya setiap lembaga survey mencermati dengan seksama kemungkinan akan berulangnya badai 10% di berbagai Pilkada langsung di daerah-daerah lainya.
Iklan Kampanye vs Pertemuan Langsung
Apa yang menyebabkan Jakowi-Ahok tampil melejit dibandingkan kandidat incumbent? Padahal Berdasarkan data yang dimiliki KPU DKI, tim Foke-Nara melaporkan dana kampanyenya pada 8 Juli lalu, diketahui memiliki dana mencapai hingga Rp. 62,6 Milyar, sementara pasangan Jokowi-Ahok hanya memiliki dana kampanye sebesar Rp. 27,5 Milyar.
Sebahagian besar Iklan kampanye yang marak di Televisi juga adalah iklan politik pasangan Foke-Nara, Hidayat-Didik atau Alex Nurdin. Iklan Kampnye TV jakowi justru di usung oleh Partai Gerindra atau Asosiasi pedagang Pasar. Belum lagi jika dilihat dari alat peraga kampanye yang menyebar di Jakarta utamanya media luar ruang seperti Baligho, kalender atau striker yang dalam pengamatan saya selama beberapa pekan sebelum hari pemilihan, mayoritas diisi oleh pasangan Foke-nono dan Hidayat Didik. Bahkan pasangan Hidayat-Didik tampil lebih berani dengan jargon ‘Hidayat Didik dimana-mana’.
Melihat hal tersebut ‘hipotesis yang menyatakan bahwa politik uang, pencitraan media menjadi begitu dominan dalam pemenangan sebuah kandidat kepala daerah’ menjadi hal yang patut kita pertanyakan. Karena jika dilihat dari dana kampanye atau alat peraga Jakowi dan Ahok memiliki presentasi yang lebih sedikit. Hasil penelitian yang juga saya lakukan dalam beberapa Pemilukada menunjukan hal yang sama, bahwa publik sebenarnya tidak terlalu terpengaruh secara signifikan dari berbagai kampanye media atau politik uang.
Memang pada awalnya ‘popularitas menjadi begitu penting dengan pencitraan media massa maupun alat peraga yang berfungsi sebagai media luar ruang’ seperti baligho kalender dan sebagainya. Tapi untuk membentuk bloc voter (pemilih tetap) ‘sentuhan pertemuan’ langsung dan intensitas dialog antara calon kepala daerah dan konstituen tetap menjadi hal yang dominan.
Jangan berpikir dengan memasang alat peraga kampanye atau iklan di TV telah mampu merepresentasikan kedirian seorang kandidat didalam benak pemilih. Karena pada dasarnya semakin sering seorang kandidat bertemu dengan pemilih maka kecenderungan pemilih untuk menjatuhkan pilihan politiknya akan semakin besar.
Demikian pula dengan ‘politik uang’ bisa jadi pemilih akan menerima dengan senang hati pemberian yang biasanya dilakukan oleh Tim Sukses seorang calon, tapi jangan terlalu yakin saat di TPS mereka yang sudah diberikan serangan fajar tersebut akan konsisten memilih mereka yang memberi.
'Segregasi'politik yang gagal
Dalam kamus besar bahasa Indonesia ‘segregasi’ berarti pemisahan (suatu golongan dari golongan lainnya); pengasingan; pengucilan. Politik segregasi yang dilakukan oleh Fauzi Bowo dengan menonjolkan dirinya sebagai ‘putra daerah’, ‘putra betawi’ terbukti menemui kegagalan. Hal tersebut adalah sebuah ‘kecelakaan fatal’ yang bisa jadi akibat penguasaan geopolitik secara baik tidak dimiliki.
Pertanyaanya apa yang dikerjakan oleh para konsultan politik Foke-Nara ? Demikian pula para team suksesnya? Apakah mereka alpha memahami data bahwa sebanyak 35,16% penduduk Jakarta adalah jawa dan betawi hanya menempati posisi kedua dengan presentase 27,65 %.
Dengan membangkitkan sentimen etnis tersebut justru menjadi bandul balik bagi pasangan incumbent. Sentimen ‘segregasi politik’ tersebut telah membangkitkan semangat penyatuan entitas jawa dalam satu kubu yakni Jakowi yang nota bene merepresentasikan basis etnik tersebut. Bahkan ‘jakowi’ tanpa malu-malu tetap mempertahankan ‘kode budaya’ identitas kejawaanya secara vulgar dalam berbagai momentum kampanye.
Inilah sumber kekuatan yang menopang suara Jokowi. Kekuatan yang didapatkan dari kegagalan upaya untuk membangun kekuasaan dengan menjadikan diri sebagai ‘Ordinat’ dan lawanya yang sub-ordinat seperti yang dilakukan oleh Foke.
Membangun Basis Politik
Belajar dari kasus pilkada Jakarta dan beberapa daerah lainya di Indonesia. sudah waktunya setiap tokoh politik atau mereka yang ingin terjun menjadi kandidat kepala daerah mulai serius untuk membangun basis politik dengan jalan merebut hati rakyat.
Caranya tak perlu muluk-muluk. Untuk konteks Sulawesi, dimana kekerabatan masih begitu kental yang hal ini ditunjukan dengan itensitas ruang-ruang pertemuan antar warga baik melalui acara pernikahan, kematian, arisan atau pengajian Rukun Warga (RW) maupun Yayasan-yayasan sosial lainya adalah arena politik yang paling nyata untuk mensosialisasikan diri.
Karena pada ruang-ruang seperti inilah dialog yang sedikit ‘intim’dapat terjalin bahkan sangat mempengaruhi dalam menentukan pilihan politik atas seorang kandidat. Sebuah analogi sederhana bisa diajukan, ‘akan sangat terhormat bagi seorang pegawai rendahan’beserta keluarganya ketika seorang tokoh politik atau mereka yang memiliki posisi sosial yang penting datang ke rumah mereka dalam acara pernikahan atau kematian.
Hal itu akan menjadi perbincangan dari mulut ke mulut dan menjadi ajang sosialisasi yang tak ada habisnya untuk dikenang baik oleh para tetangga maupun keluarga mereka, yang bisa jadi berada diluar kampung dari orang yang dikunjungi oleh sang Tokoh.
Melihat apa yang dilakukan oleh Jokowi yang berkeliling dari kampung-ke kampung menjadikan kita semakin yakin bahwa Jokowi membangun basis politik secara nyata dengan cara mendatangi pemilih secara langsung. Bukan sekedar mewakilkan dirinya kepada ‘team sukses maupun alat peraga kampanye’.
Jokowi rela untuk makan di pemukiman-pemukiman kumuh bersama warga, berdiri dibawah sengatan matahari dan tidak jijik dengan selokan-selokan yang beraroma tak sedap di kantong-kantong warga miskin. Namun yang perlu dicatat bahwa tidak selamanya pendekatan dengan cara kampanye langsung tersebut akan berhasil jika kandidat tersebut memiliki catatan yang buruk.
Pada titik inilah dibutuhkan trade record yang baik. Dari hasil pengamatan saya mereka yang diangap sukses menjalankan pemerintahan disebuah daerah akan bisa lebih diterima dibandingkan mereka yang bebuat apa-apa. ‘Jokowi telah berhasil menunjukan memimpin solo, tapi mungkinkah Jokowi berhasil mempin Jakarta’? Semoga saja Jakarta lebih baik!